Runyamnya Nasib DKI Jakarta di HUT ke 487

Author : Aries Musnandar | Jum'at, 27 Juni 2014 10:25 WIB

BEBERAPA dekade belakangan ini kesemrawutan sosial di DKI Jakarta berada diambang kemelut. Sebagai ibukota negara RI coba perhatikan, kondisi pelayanan publik memerihatinkan termasuk disiplin berlalu lintas pengguna jalan kian parah. FENOMENA perilaku pengguna jalan di Indonesia amat menyedihkan. Kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat pada rambu dan tata cara berlalu lintas dari hari ke hari mengalami degradasi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa hal ini bisa terjadi akibat sistem transportasi massal yang memadai belum terwujud di negeri ini walau sudah hampir  mendekati 70 tahun merdeka. Perilaku sebagian masyarakatnya di jalan-jalan Ibukota yang terkesan ngawur ikut mencoreng keberadaan DKI Jakarta ini sebagai sebuah ibukota negara yang berpenduduk salah satu terpadat di dunia.

Belum lagi perilaku aparat penegak hukum yang malah melanggar hukum dan terkesan bertindak seperti pemadam kebakaran yakni bertindak jika ada kejadian. Antisipasi dan upaya preventif nyaris tak dilakukan.

Ketidaknyamanan hidup dan tinggal di Jakarta ini patut dijadikan perhatian serius para pemangku kepentingan tidak hanya yang mengurusi Jakarta secara langsung, tetapi juga para pengambil kebijakan di tingkat nasional (pusa). Kerunyaman sosial yang menganga dan jelas-jelas nyata menghiasi kehidupan Jakarta di antaranya, kriminalitas (sadisme), korupsi dan komersialisasi jabatan, polusi, ketidakdisplinan berlalu lintas, banjir dan macet senantiasa akrab menyatu dengan ibukota kita ini. Kerawanan sosial cukup tinggi membuat menetap di Indonesia perlu ekstra waspada

Kondisi ini membuat orang tidak aman dan tidak nyaman tinggal di Jakarta. Apalagi, para ahli dan pemerhati lingkungan telah memprtediksi kemungkinan tenggelamnya ibukota kita ini akibat "tangan-tangan" kita yang menganiaya diri kita sendiri sehingga Jakarta kian runyam.

Pemahaman atau persepsi sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan di daerah adalah menganggap JAKARTA sebagai baromoter kesuksesan pembangunan. Persepsi ini keliru adanya. Jakarta memang terlihat demikian dinamis tapi di sisi lain problematika kehidupan sosial di ibukota kian semerawut dan runyam. Berbagai persoalan mendera Jakarta mulai dari urbanisasi, anak terlantar, kepadatan penduduk dan bangunan, keterbatasan lahan yang tidak menyisakan LHT (lahan hijau terbuka), kemacetan luar biasa hingga perkiraan para ahli bahwa Jakarta akan tenggelam dalam waktu dekat (jika tidak diantisipasi secara cermat). Kondisi diatas diperparah lagi oleh ‘ulah' oknum penguasa dan pengusaha yang  lebih mementingkan ‘fulus' dalam membangun Jakarta ketimbang antisipasi kasus sosial yang muncul dikemudian hari.

Urbanisasi merupakan kegiatan yang membuat membengkaknya tenaga kerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Disamping itu, jumlah pertumbuhan penduduk dan kendaraan pribadi demikian pesat sementara penambahan fasilitas jalan terbatas, sehingga terjadi ketidakseimbangan. Maka dapat ditebak apa yang akan terjadi yaitu kepadatan, kemacetan, kesemerawutan, dan tentunya ketidaknyamanan. Jika ditilik dari konsep/teori psikologi sosial maka kondisi masyarakat yang galau dan risau turut andil mempengaruhi pembentukan karakter manusia Indonesia yang bersifat serba instan dan menerabas

Oleh karena itu jika tidak ada penegakan hukum yang ketat misalnya menindak dengan tegas pemilik bangunan besar seperti mal, perkantoran dan sejenisnya, yang melenceng darii rencana tata ruang dan wilayah (RT/RW) dengan tidak memiliki lahan serapan untuk menampung air hujan, maka kebanjiran dipastikan akan tetap mengintai.

Juga bila tidak ada upaya pemerintah secara maksimal mewujudnyatakan transportasi masal (MRT) yang representatif, maka jangan mimpi kemacetan akan menghilang di Jakarta ini. Atau apakah kita perlu memindahkan Ibukota Jakarta yang sudah sarat dengan "beban" yang tak kunjung usai?

Karut marut pembangunan di Jakarta menjadi cermin bagi kota-kota lainnya di luar Jakarta yang mengesankan bahwa tidak selalu pembangunan di Jakarta cocok dan dapat ditiru oleh daerah lain. Pembangunan Jakarta kini tidak dapat dijadikan  barometer bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Setiap kota seyogyanya dibiarkan untuk memiliki dan mengembangkan keunikan masing-masing, tidak perlu mencontoh Jakarta yang malang

Sejak dulu tampaknya atas nama pembangunan Jakarta disulap dari kampung besar menjadi kota metropolitan bahkan megapolitan, namun efek dan ekses dari pembangunan fisik ini tidak pernah secara serius diantisipasi dan ditanggulangi dengan sistemik.Kiranya dengan berbagai kondisi memerihatinkan tersebut Jakarta tidak pantas dijadikan ibukota yang seharusnya menjadi teladan bagi kota-kota lainnya.

Jakarta yang sudah demikian padat penduduknya terasa kian sempit dan sesak dengan mengalirnya orang-orang daerah/desa ke Ibukota untuk bekerja dan menetap. Lahan untuk perumahan di Jakarta semakin sempit, sehingga banyak yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan. Keterbatasan tempat tinggal di Jakarta membuat terbentuknya tempat-tempat pemukiman baru dipinggiran kota dan wilayah Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi. Konon pada siang hari jumlah penduduk Jakarta yang sekarang telah menembus angka 10 juta jiwa itu bertambah 2 juta menjadi 12 juta jiwa.

Dengan demikian beratnya problematika sosial di Jakarta muncul harapan dengan munculnya seorang gubernur yang membawa “Jakarta Baru” yakni Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi. Ia pun berjanjai baik ketika dalam kampanye pilkada atau pun ketika mulai menjalankan amanahnya sebagai guburnur baru DKI Jakarta bahwa ia akan membereskan problematika tersebut diatas dalam 5 tahun masa tugasnya.  Begitu terpilih menjadi Gubernur DKI Jokowi langsung tancap gas turun kebawah blusukan menemui warga Jakarta secara informal, santai tanpa protokoler yang mengikat.

Senyatanya, Jokowi blusukan ke pelosok kampung dan area terpencil wilayah kekuasannya untuk berkomunikasi tanpa jarak dan berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Sebelum ini jarang ditemui pejabat dengan ikhlas mengunjungi rakyatnya secara langsung dalam suasana cair yang tidak kaku tanpa aturan ketat protokoler. Rakyat menikmati gaya Jokowi ini.  Sosok pemimpin model ini bagi rakyat ibarat "pungguk merindukan bulan", sedangkan bagi media massa merupakan “good news”. Rakyat seolah diberikan harapan dari seorang Jokowiu yang dapat menyelsaikan persoalan akut di Jakarta dalam 5 tahun kedepan.

Namun apa yang terjadi? Belum lengkap dua tahun bekerja sebagai Gubernur DKI Jokowi akan ikut Pemilu 2014 sebagai Capres PDIP. Jokowi hanya menurut perintah pimpinan tertinggi partainya karena merasa sebagai orang partai mesti taat organisasi dan setiap perintah dari pimpinan adalah amanah yang harus dilakukan apapun risikonya. Jika pilihan ini yang diambil maka Jokowi bukan orang yang "punya nyali" untuk mempertahankan janji-janji kampanye bahwa ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur dan tidak tertarik ikut "nyapres".

Memang omongan Jokowi yang terlanjur disampaikan saat kampanye maupun setelah menjabat Gubernur DKI bisa saja dipatahkan dengan alibi bahwa ia hanya menuruti perintah atasan karena ia orang partai. Tapi Jokowi lupa, sebenarnya atasan sejati Jokowi adalah rakyat yang memilihnya pada pemilihan Gubernur beberapa waktu lalu. Apabila Jokowi untuk maju nyapres berarti integritas Jokowi patut dipertanyakan.

Dia sudah menjadi orang partai dan bukan milik bangsa secara keseluruhan, hal ini menandakan ia bukanlah negarawan tapi lebih tepat sebagai politikus. Negarawan sejati memberikan contoh teladan bahwa amanah yang sudah diberikan dan omongan (baca: janji) yang sudah disampaikan ke hadapan publik mesti dijunjung tinggi.Negarawan lebih berorientasi hasil sehingga berani mengambil risiko untuk kepentingan yang lebih besar. Pemimpin seperti inilah yang sudah lama sekali tidak muncul di Indonesia. Jika Jokowi melakukan hal ini maka beliau berhasil mendobrak kebekuan dan krisis kepemimpinan nasional. Tetapi hal ini tidak dilakukan Jokowi sehingga ia tidak beda dengan kebanyakan elite pemimpin bangsa sekarang ini.

Rakyat DKI berhak menuntut Jokowi ke pengadilan (PTUN) atas ingkar janji dan omongannya untuk menjalani amanah sebagai Gubernur DKI selama 5 tahun karena menerima pinangan menjadi Caapres PDIP tahun 2014. Menuntut secara hukum persoalan ingkar janji Jokowi ini merupakan pendidikan politik yang sangat baik agar dikemudian hari para pemimpin tidak seenaknya saja berkhianat dan mengingkari janji demi kekuasaan yang lebih besar. 

*) Penulis lahir dan besar di Jakarta, sekarang menetap di Malang Jatim

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: