Sengketa hasil pilpres sangat mirip ke telenovela, atau bahkan lebih buruk lagi, sebab telenovela masih menyisakan ruang untuk pendidikan. Meski banyak yang mengatakan bahwa sidang sengketa pilpres dapat menjadi pelajaran dan pendidikan politik, tetapi di mata saya sidang sengketa pilpres justru amat sangat merusak pemahaman perpolitikan dan definisi bernegara. Persoalannya bukan pada sengketa itu sendiri, sebab bersengketa bisa menjadi salah satu jalan yang dapat mempererat persatuan. Persoalan terletak pada sikap dari orang-orang yang bersengketa terutama dari pihak koalisi merah-putih. Hancur lebur binti babak belur.
Ruang sidang berubah menjadi seperti arena sirkus, orang bebas bergaya bicara sesukanya. Lihatlah bagaimana bahasa tubuh dari saksi bernama Dadi itu, sangat menyebalkan. Seorang Novela menjadikan ruang sidang menjadi panggung untuk meraih popularitas, dan anehnya kita semua bertepuk tangan sangat meriah untuknya.
Seorang Papua yang tidak mengenal kepala sukunya pastilah pembual dan pembohong besar. Kepala suku itu adalah tetua adat, pemimpin spiritual, dan pemimpin pemerintahan desa sekaligus. Tidak mengenal kepala suku itu ibarat anda tinggal menumpang di rumah tetapi tidak mengenal tuan rumah, keterlaluan. Itulah Novela Nawipa, yang bahkan tidak bisa menyebut satu saja nama yang menjadi tetangganya di kampung Awabutu. Tetapi hakim MK Patrialis Akbar malah sangat menyenangi gaya sang artis telenovela ini. Begitupun saksi Vincent Dokomo yang mengaku mendapat ancaman tetapi tidak bisa menjelaskan apapun tentang ancaman itu.
Koalisi Merah-Putih selalu berteriak agar tidak ada yang mengintervensi MK, tetapi teriakan itu disertai pengerahan massa melakukan demo di depan gedung MK. Meski semakin hari jumlah yang ikut demo makin menyusut, tetapi tujuan demo itu sendiri pastilah untuk memberikan tekanan ke hakim-hakim MK, gue punya massa, hati-hati lho. Belum lagi M Taufik yang dengan sangat arogan hendak menangkap ketua KPU.
Tampaknya kini kita tidak membutuhkan data, tidak memerlukan penjelasan, hanya perlu melontarkan tuduhan. Angka 67,13 juta suara untuk capres no.1 dan 66,45 juta suara untuk capres no.2 muncul mendadak dari langit atau dari cairan Bayclin. Bahkan menurut Mahfud Md, data yang berasal dari hitung cepat PKS ini sangat kabur binti tidak jelas. PKS tidak pernah membuka bagaimana mereka menghitung hingga tiba pada angka tersebut.
Pada majalah Tempo edisi 11 – 17 Agustus 1945 (halaman 44), Mahfud Md sampai mengatakan begini: “ada sejumlah orang di tim pemenangan yang memanasmanasi Prabowo. Mereka terus-menerus mengatakan Jokowi-Kalla berbuat lancung. Para pembisik telah menjerumuskan Prabowo. Data yang dirujuk sebenarnya omongan belaka”. Kita semua tahu bahwa pak Mahfud Md adalah seorang pentolan di tim pemenangan Prabowo. Salah satu yang mengherankan, mengapa pak Hatta Rajasa seolah-olah hilang ditelan bumi?.
Menuduh ada kecurang itu gampang, sekarang buktikanlah bagaimana kecurangan itu terjadi. Mengeluhkan bahwa saya diancam sangat mudah, menunjuk siapa yang mengancam, seperti apa ancaman itu, kapan ancaman itu dilontarkan, itu yang paling penting.
Hingga kini begitulah keadaannya. Lantas pendidikan politik apa yang dapat diperoleh dari sengketa ini?.
Saksi yang tidak dapat membuktikan kesaksiannya dengan baik sebaiknya dipidanakan saja.