Teliti Bermedia, Berpikir Kritis

Author : Mahasiswa Pascasarjana di National Dong Hwa University, Taiwan | Jum'at, 14 Oktober 2016

Oleh: Roy Martin Simamora

Dewasa ini, hampir semua lini kehidupan disuguhi dengan berita, kasus, isu yang berkembang di masyarakat. Baik itu dari media massa berupa koran, majalah, televisi, dan in­ternet. Kita harus dituntut jeli dalam memilah, memilih dan memutuskan bacaan, tontonan dan berita yang bermutu. Tak hanya sekedar bermutu, tetapi juga berim­bang dan terpercaya. Untuk itu, salah satu kebutuhan yang patut diketahui adalah mampu membedakan antara bentuk media yang berbeda dan tahu bagaimana mengaju­kan pertanyaan dasar tentang segala sesuatu yang kita tonton, baca atau dengar.

Kendati, sebagian besar orang masih bela­jar melalui kelas literatur, bagaimana mem­bedakan isu dari sebuah berita di tele­visi, sangat menakjubkan betapa banyak orang tidak mema­hami perbedaan antara surat kabar harian dan tabloid su­permarket, apa yang membuat satu situs yang sah dan satu lagi tipuan atau hoax, atau bagaimana produk pengiklan paket/produk untuk mena­rik pembeli untuk membeli. Sebuah fakta yang menarik, ketika media menyu­guhkan berba­gai macam iklan sandang, pangan dan papan. Misalnya, mulai dari pro­duk kosmetik untuk wanita maupun pria, alat-alat perabotan rumah, maupun berbagai macam merk sepeda motor, mobil dan masih banyak lagi.

Peran orangtua, kakek-nenek, bahkan guru dapat membantu anak-anak belajar membedakan antara program hiburan dan pesan komersial yang mendukung belajar mereka. Buku bergambar dapat membantu anak-anak memahami kekuatan cerita dari gambar-gambar yang dilihat "Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?" Itu semua tergantung bagaimana orang tua memediasi anak, membantu anak untuk dapat memilah dan memilih konten di media.

Sebagian anak-anak tumbuh dan mung­kin mampu mem­bedakan dunia fantasi dari dunia nyata yang mereka tinggali. Mereka dapat menjelajahi bagaimana media diletak­kan bersa­ma-sama dengan menekan tombol off pada remote, selama kar­tun tayang di televisi. Anak-anak juga dapat mencatat perbe­daan yang dibuat, atau bahkan mem­buat kisah superheromere­ka sendiri dengan menggunakan handycam di rumah dan mu­dah untuk menggunakan perangkat editing di komputer ke­luarga. Ketika anak-anak mulai menggunakan internet untuk peneli­tian proyek sekolah, mereka dapat memban­dingkan situs yang berbeda dan kontras. Misalnya, sebuah film animasi seperti Naruto, sebuah iklan untuk Pepsi, edisi majalah Tempo, papan iklan untuk minu­man bersoda Coca-cola, foto dan artikel tentang perampokan dan pembunuhan di bagian depan halam­an surat kabar dan berita media yang lain. Peran orangtua untuk mendeteksi prasangka atau politisasi di tayangan televisi.

Kadang-kadang media "teks" dapat melibatkan berbagai format. Sebuah film baru dari Pixar, misalnya, tidak hanya ditayangkan dalam jajaran film box office, yang dirilis dalam ribuan bioskop. Tetapi, seluruh kampanye iklan dan boneka karak­ter merchandising dan mainan, pakaian, kotak makan siang, serta website, buku cerita, permainan dan mungkin, berkunjung di salah satu taman hiburan Disney. Fakta, inilah yang terlihat di kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak bisa ter­lepas dari pengaruh media yang sudah menjadi trend. Dibu­tuhkan kecakapan dalam menangkal perila­ku atau kebiasaan buruk dari media yang kita baca, tonton dan dengar.

Media sekarang ini dibangun dari berba­gai elemen persis seperti membangun sebuah gedung bertingkat. Bahan bangunan yang terlihat bervariasi dari satu jenis teks yang lain ke yang lain. Di majalah, misalnya, ada kata-kata dalam ber­bagai ukuran dan tipe-tipe huruf, foto, warna, tata letak dan lokasi halaman. TV dan film memiliki ratu­san bangunan dari sudut kamera dan penca­hayaan, kemudian membangun variasi mu­sik dan efek suara. Sebagai penonton, kita tidak bisa meng­atur atau menolak kata-kata, gambar atau pengaturan secara langsung. Kita hanya ikut melihat, mendengar atau membaca apa yang diterima. Kalaupun bisa komplain mungkin mem­butuhkan proses yang panjang. Syukur jika di follow up, jika tidak? Kita tidak tahu.

Mungkin kita berpikiran bahwa semua yang ditayangkan atau yang disampaikan di media adalah palsu atau hoax. Itu tidak berarti kita tidak bisa menikmati film, menonton TV atau mendengarkan musik. Tujuan dari pernyataan ini adalah untuk tidak membuat kita terlalu sinis tetapi hanya untuk mengekspos betapa kompleksnya "isi" dari sebuah media, dengan demikian kita mampu menciptakan jarak "kritis" dan harus mampu meng­ajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya.

Teliti dan pikirkan

Media memang tidak memiliki batasan. Setiap hari media terus bereproduksi. Menyuguhkan berita baru dan produk baru adalah sebuah kebutuhan bagi masyarakat. Menggunakan media pun harus bijak. Misalnya media sosial, seperti facebook, youtube, twitter dan lain-lain. Kejadian yang kerap saya lihat ketika bersinggungan dengan media sosial yaitu, menemukan beberapauser yang mempublish sesuatu yang bersifat privasi. Kebanyakan pengguna lupa diri bahwa kebebasan itu memang hampir sulit dibedakan, mana yang boleh dishare atau tidak boleh dishare. Tersedia­nya kolom untuk menshareapa yang ingin ditulis bukan berarti semua hal bisa diumbar di media sosial apalagi sesuatu yang sensitif atau sangat privasi. Semisal: perihal foto yang tidak seharusnya diposting, keuangan, hu­bung­an percintaan, tentang kehidupan keluarga atau mungkin kejengkelan yang membabi buta. Sadar atau tidak sadar, hal-hal yang bersifat privasi yang kita sebar itu dikonsumsi oleh pengguna yang lain di me­dia sosial. Baik buruknya konten yang kitashare, tergantung penilaian pengguna lain.

Terlepas dari itu semua, mengungkap berbagai tingkatan makna dalam pesan media dan beberapa jawaban bahkan perta­nyaan dasar yang membuat media begitu menarik untuk kita terutama bagi anak-anak. Untuk itu, penting untuk kita agar dapat mencegah dampak negatif dari media dan membantu kita memahami fungsi dari media. Kita harus bisa mengkaji dengan baik sebuah isu, kasus dan kejadian yang terjadi di sekitar kita sebelum bertindak lebih jauh. Literasi media atau melek media sangat diperlukan dalam lingkungan masya­ra­kat sekarang ini. Barangkali konsep ini masih belum akrab di telinga kita. Mengutip dari National Association for Media Literacy Education bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, meng­­a­na­lisis, mengevaluasi, dan mencipta­kan semua bentuk komunikasi.

Dinukil dari Center for Media Literacy, mengakses artinya ketika orang mengakses pesan, mereka dapat mengumpulkan infor­masi yang relevan, berguna dan memahami makna­nya secara efektif. Mereka bisa saja mengenali dan memahami kosakata yang kaya kata-kata, simbol dan teknik komuni­kasi, mengem­bang­kan strategi untuk mencari informasi dari ber­bagai sumber dan memilih bermacam-macam jenis informasi yang relevan dengan tujuan yang baik. Meng­analisa artinya ketika orang menga­nalisa pesan, mereka mampu memeriksa desain, bentuk, struktur pesan dan secara berurutan. Mereka dapat menggunakan kon­sep artistik, sastra, sosial, politik dan eko­nomi untuk memahami konteks di mana pesan tersebut terjadi. Sebagai contoh: Meng­gunakan pengetahuan dan pengala­man sebelumnya untuk memprediksi hasil, menafsir­kan pesan menggunakan konsep-konsep seperti tujuan, pe­nonton, sudut pandang, format, genre, karakter, plot, tema, suasana hati, pengaturan, konteks, gunakan strategi termasuk banding­kan kontras, fakta, opini, penyebab, efek, daftar dan pengu­rutan.

Mengevaluasi artinya, ketika orang mengevaluasi pesan, mereka mampu menghubungkan pesan ke pengalaman mereka sendiri dan membuat penilaian tentang kebenaran, kualitas dan relevansi pesan. Ini termasuk mampu: Menghargai dan meng­ambil kesenangan dalam menaf­sir­kan pesan dalam genre dan bentuk yang berbeda, mengevaluasi kualitas pesan berdasarkan konten dan bentuk, menilai nilai pesan berdasarkan prinsip-prinsip etika, agama atau demokratis seseorang dan menang­gapi secara lisan (barangkali membuat semacam surat), cetak, atau elek­tronik untuk pesan dari berbagai komplek­sitas dan konten.

Menciptakan artinya, ketika orang men­cip­takan (atau berko­munikasi) pesan, mere­ka mampu "menulis" ide-ide mereka, meng­gunakan kata-kata, suara dan/atau gambar secara efektif untuk berbagai keper­luan, dan mereka mampu memanfaat­kan ber­­bagai teknologi komunikasi untuk mem­buat, mengedit dan menyebarkan pesan mereka, memanfaatkan brainstorming, perencanaan, penyusunan dan proses mere­visi, menggu­nakan tulisan dan bahasa lisan secara efektif dengan penguasaan atu­ran peng­gunaan bahasa, membuat dan pilih gambar secara efektif untuk mencapai ber­bagai tujuan, dan menggunakan tekno­logi ko­munikasi dalam membangun sebuah pesan.

Penting dipahami adalah bahwa literasi media bukan tentang "melindungi" anak-anak dari pengaruh media. Meskipun bebe­rapa orang akan mendesak keluarga untuk mematikan TV. Fak­ta­nya adalah, media begitu mendarah daging dalam lingkungan dan budaya kita sekarang ini. Bahkan jika kita mematikan TV, kita masih tidak bisa lepas dari budaya media hari ini. Media tidak lagi hanya mempengaruhi budaya kita. Namun, media sudah menjadi budaya kita.

Literasi media adalah tentang bagaimana membantu anak-anak menjadi kompeten, kritis dan melek aksara dalam segala bentuk media sehingga mereka mengendalikan interpretasi dari apa yang mereka lihat atau dengar daripada membiarkan inter­pretasi yang mengendalikan mereka. Untuk men­jadi melek me­dia bukan dengan menghafal fakta atau statistik tentang media, melainkan belajar untuk meningkatkan pertanyaan yang tepat tentang apa yang kita tonton, baca atau dengarkan.

Tanpa kemampuan mendasar ini, seorang individu tidak akan memiliki martabat penuh sebagai manusia dalam ma­syarakat demo­kratis dimana untuk menjadi warga negara adalah bagaimana memahami dan berkontri­busi pada debat sewaktu-waktu. Kecakapan menyaring berita atau isu dalam tayangan berita sangat diperlukan bagi masyarakat sekarang ini. Literasi media bukan berarti kita tidak boleh melihat, mem­baca, menonton dan mendengarkan pesan dari media. Melek media artinya harus cakap memahami suatu pesan media dari berbagai sudut pandang dan "teliti bermedia dan berpikir kritis.

Sumber: http://harian.analisadaily.com/opini/news/teliti-bermedia-berpikir-kritis/276076/2016/10/14
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: