Tugas BI dan OJK terhadap Perbankan (Syariah)
Author : Aries Musnandar | Senin, 05 Mei 2014 09:59 WIB
Perbankan konvensional sebagai bagian dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di Indonesia tidak sepi dari persoalan moral hazard pengelola perbankan itu sendiri. Namun munculnya perilaku menyimpang di dunia perbankan tidak terlepas dari sistem perbankan konvensional yang senantiasa membuka celah terjadinya penyimpangan. Berbagai kasus yang terjadi di perbankan mulai dari pembobolan kartu ATM, deposito dan tabungan nasabah, kasus debt collector, dan kasus-kasus lain seperti kasus Malinda Dee, manager di Citibank yang membobol uang nasabahnya sendiri, telah menunjukkan betapa persoalan perbankan kita tak kunjung menampakkan perbaikan yang berarti. Tetapi persoalan moral hazard tidak hanya monopoli perbankan dan lembaga keuangan konvensional, di lembaga keuangan dan perbankan syariah. Dengan maraknya aktivitas ekonomi Islam di Indonesia membuat nasabah (calon nasabah) yang ingin memperoleh keberkahan lalu menyimpan uangnya di lembaga keuangan syariah. Pencantuman nama syariah membuat para nasabah tersebut secara psikologis merasa nnyaman, tapi apa lacur, ternyata oknum pengelola lembaga keuangan melakukan wan prestasi atau tidak amanah dan secara licik memanfaatkan kepolosan nasabah bagi keuntungan pribadi oknum tersebut. Alhasil, banyak uang nasabah dibawa kabur dan perilaku pendiri lemaga keuangan tersebut sungguh tidak mencerminkan pribadi Muslim yang takut akan siksaan dari Allah kelak apabila melakukan pendzholiman terhadap nasabah.
Silih bergantinya kasus yang terjadi di dunia perbankan dan lembaga keuangan yang melibatkan dana masyarakat merupakan cermin dari tidak sempurnanya manajemen perbankan dan lembaga keuangan di Tanah Air ini dalam melindungi kepentingan nasabah yang telah memercayakan dananya tersebut untuk dikelola sebagaimana mestinya.
Nasabah menjadi waswas dan tidak tenang serta merasa tidak aman untuk menyimpankan uangnya di bank dan lembaga keuangan lain meski diberi embel-embel syariah. Nasabah menjadi khawatir memanfaatkan produk-produk yang ditawarkan Karena kasus yang dipaparkan di atas itu cukup mencerminkan betapa amburadulnya sistem keamanan uang nasabah.
Sementara itu pihak perbankan cenderung memudahkan nasabah untuk memiliki kartu kredit tanpa mengukur secara seksama atas kredibilitas konsumen. Manakala nasabah sudah memperoleh kartu kredit dan ternyata gagal membayar, maka biasanya yang dipersalahkan hanya pihak nasabah, padahal pada saat proses persetujuan nasabah mendapatkan kartu kredit, pihak Bank tidak melaksanakan kelayakan nasabah itu dengan baik dan benar. Alhasil, terjadi hal-hal yang tak diinginkan dengan penyelsaian yang tidak adil karena ditimpakan sepenuhnya kepada nasabah. Semestinya pihak perbankan yang memberikan kartu kredit juga dapat dikenakan sanksi.
Perlu diketahui jika di Singapura 70% pengguna kartu kredit membayar tagihannya dengan tunai, sementara di Indonesia sebaliknya, 70% membayar tagihan kartu kredit dengan cara mencicil atau angsuran. Ini berarti memang kredibilitas pemilik kartu kredit di negara kita masih dipertanyakan.Dari data ini amat jelas bahwa semestinya kelayakan untuk memperoleh kartu kredit perlu diperketat bukan malah dibiarkan melanggar ketentuan, istilah popular orang betawi yaitu “yang penting laku urusan belakangan”. Situasi seperti ini yang amat riskan bagi citra perbankan di Indoesia dan bukan tidak mungkin berdampak pula pada lembaga perbankan dan keuangan syariah apalagi karyawan di lembaga syariah tersebut juga mayoritas berasal dari lembaga perbankan dan keuangan konvensional.
Lebih lanjut regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan otoritas jasa keuangan (OJK) wajib melaksanakan pengawasan yang ketat dan harus bertanggung jawab penuh jika nasabah menjadi korban kejahatan perbankan/lembaga keuangan. OJK yang mengawasi pula perbankan syariah wajib memiliki tingkat moralitas yang tinggi karena bukankah nilai-nilai agama yang menjadi acuan perbankan syraiah berlandaskan nilai-nilai agama yang mulia tersebut. Tanggungjawab OJK tentu tidak hanya di dunia tetapi juga akherat sebagaimana yang diyakini oleh setiap Muslim yang terkait dengan kegiatan perbankan syariah ini.
Dalam struktur organisasi perbankan syariah ada satu hal yang perlu diperhatikan yakni kedudukan dan kewenangan DPS (dewan pengawas syariah) yang di setiap bank syariah ditunjuk atau diangkat oleh dewan direksi Padahal DPS bertugas mengawasi operasional kegiatan bank syariah. Tata cara ini tentu tidak Islami dalam arti mereka yang akan mengawasi tetapi malah dilantik oleh mereka yang diawasi. Aturan soal DPS dalam struktur perbankan syariah ini kiranya perlu mendapatkan perhatian pihak OJK sebagai pihak memiliki otoritas mengatur terlaksananya perbankan syariah sesuai nilai-nilai mulia keagamaan. Sebaiknya DPS masuk dalam bagian OJK yang memiliki kewenangan mengawasi perbankan syariah sehingga DPS dianggkat oleh OJK bukan oleh bank yang bersangkutan. Hal ini untuk mewujudkan azas-azas profesionalitas yakni good corporate governance (GCG) sekaligus tentu memenuhi nilai-nilai keagamaan yang menjunjung tinggi moralitas
Shared:
Komentar