Tuntutan Buruh Pada Peringatan May Day Sangat Wajar

Author : Aries Musnandar | Rabu, 07 Mei 2014 10:09 WIB

Hari Buruh Nasional besok kamis 1 Mei 2014 akan diperingati oleh para pekerja (buruh) Indonesia. Seperti biasa para buruh akan melakukan unjuk rasa yang bersifat nasional. Sejak dulu seperti diketahui bersama isu utama yang mengemuka di setiap aksi demonstrasi para buruh selalu terkait dengan masalah upah buruh dan alih daya atau lebih dikenal dengan istilah sistem outsourcing dalam perekrutan tenaga kerja di Indonesia. Sejauh ini tema demo buruh selalu terkait kedua hal tersebut. Sesungguhnya dalam pengamatan saya setidaknya terdapat empat hal yang dapat disorot terkait kedua isu yang mengemuka dalam aksi demo buruh besok tersebut.

 

Sorotan pertama terkait isi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Republik Indonesia  no 13 tahun 2003 yang membolehkan perusahaan menerima karyawan dengan cara sistem outsourcing (melalui jasa pihak ketiga) dari perusahaan pemasok jasa tenaga kerja. Dalam sistem ini status karyawan bukan sebagai karyawan perusahaan yang meminta jasa tenaga kerja, tapi justru sebagai karyawan perusahaan outsourcingtersebut. Inilah yang menjadi ujung persoalan sistem outsourcing yang banyak diprotes para buruh. Para karyawan atau buruh menandatangani kontrak kerja dengan perusahaanoutsourcing bukan dengan perusahaan tempat mereka akan bekerja sehari-harinya. Ini memang agak aneh dan tidak manusiawi. Bisa dibayangkan betapa mereka mendapat perlakuan diskriminasi atas gaji, fasilitas dan pengembangan karir. Mereka biasanya menerima gaji tidak lebih dari separo pengeluaran biaya gaji per karyawan yang dibayar perusahaan itu kepada perusahaan alih adaya. Perusahaan itu membayar antara Rp 6 s/d 8 juta per-orang maka karyawan via alih daya itu tetapi karyawan alih daya yang diperkerjakan di perusahaan itu hanya mendapat gaji sekitar Rp 2 juta dari perusahaan alih daya. Jadi sisa uang antara 4-6 juta masuk ke kantong pengusaha alih daya itu. Fasilitas hanya diberikan oleh perusahaan alih daya bukan dari perusahaan yang mempekerjakannya Lebih jauh lagi nasib karyawan outsourcing amat memperihatinkan karena tidak memiliki karir kerja diperusahaan yang memberlakukan sistem outsourcing itu karena statusnya sebagai karyawan alih daya bukan karyawan tetap perusahaan tersebut.   

 

Fenomena diatas agak beda dengan pekerja yang bekerja di luar negeri melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Meski sama-sama melalui perusahaanoutsourcing tetapi pekerja yang ditempatkan di perusahaan di luar negeri memiliki status sebagai karyawan kontrak di perusahaan luar negeri tersebut (pabrik, rumah sakit dll) bukan sebagai karyawan PJTKI yang dalam hal ini hanya bertindak sebagai perantara saja. PJTKI memperoleh fee dari beberapa cara yakni dari perusahaan pemohon tenaaga kerja bahkan ada juga yang memperoleh dari pekerja yang diterima di perusahaan luar negeri itu.  Tetapi dalam konteks ini pekerja menjadi bagian dari perusahaannya tempat bekerja dengan status biasanya sebagai pekerja kontrak. Dengan demikian mereka mendapat gaji penuh dari majikan dan tentu kondisi ini agak lebih baik ketimbang pekerja di perusahaan yang melalui perusahaan outsourcing dan bekerjanya di Indonesia .

 

Problem kedua menyangkut  jabatan/posisi (job) pekerjaan yang diperbolehkan untuk diisi melalui sistem outsourcing. Dalam UU no 13 tahun 2003 itu disebutkan jenis pekerjaan tertentu saja yang diiznkan melakukan outsouring. Pekerjaan yang bersifat rutin dan diperlukan dalam  jangka panjang tidak boleh dengan sistem outsourcing.  Dalam konteks ini pekerjaan sebagai customer service, sekretaris dan jabatan kantor lain yang bersifat rutin dan dibutuhkan perusahaan dalam jangka panjang seharusnya tidak boleh direkrut dari perusahaan outsourcing. Namun apa yang terjadi di lapangan? Banyak perusahaan melanggar, Kita ketahui berapa banyak petugas customer service bekerja di bank,  termasuk untuk posisi sekretaris yang bekerja di kantor ternyata berasal dari perusahaan outsourcing. Hal ini mengindikasikan pengguna tenaga kerja memanfaatkan celah dan  kelemahan dari UU yang diberlakukan. Bahkan perusahaan berskala besar yang memiliki aset kekayaan sangat besar ada yang dengan tega memanfaatkan celah ini.

 

Masalah ketiga, berkaitan dengan pasal 91 UU 13/2003 disebutkan dalam ayat 1 bahwa upah pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang diatur pemerintah dan kesepakatan antara serikat perkerja dan pemilik perusahaan (manajemen). Lalu ayat 2 berbunyi jika kesepakatan dwi partit (serikat pekerja dan manajemen) menghasilkan pengupahan yang lebih rendah dari aturan yang berlaku atas upah minimum regional (UMR)  maka kesepakatan itu batal demi hukum. Dalam konteks ini perlu dikritisi bahwa kita melihat banyak perusahaan besar yang memperoleh” keuntungan” dari pasal diatas, Mereka membayar upah terendah pekerjanya lebih tinggi sedikit dibanding UMR yang berlaku di daerah tempat lokasi pabrik/kantor itu beroperasi. Lalu perusahaan ini akan merasa bangga telah mengupah karyawan diatas UMR.  Dalam pandangan penulis hal ini tidak fair, kenapa demikian? Karyawan perusahaan besar (multinasional) selalu dituntut bekerja dengan standar internasional sesuai kapasitasnya sebagai perusahaan kelas dunia. Tetapi dalam soal pengupahan karyawan mereka “patuh” dan taat untuk mengikuti UMR, tidak dengan standar internasional. Kenapa fenomena ini dibiarkan terjadi di Negara kita?  

 

Kendala keempat bahwa secara psikologis dan professional sistem outsourcing akan hanya menciptakan kecemburuan sosial diantara karyawan outsourcing dan karyawan tetap di perusahaan tempatnya bekerja. Kondisi seperti ini tentu tidak kondusif dan tidak kita inginkan tidak hanya bagi pekerja, dan perusahaan tetapi tentu juga bagi pembuat regulasi (pemerintah). Produktivitas dan iklim kerja yang baik tidak akan pernah optimal akibat perlakuan diskriminatif terhadap sejumlah karyawan.

 

Oleh karena  terdapat sejumlah kelemahan, kiranya sistem outsourcing tenaga kerja ini perlu ditinjau ulang untuk tidak mengatakan dihapus. Jika perusahaan tidak mampu atau belum siap mempekerjakan karyawan tetap, maka perusahaan dapat menerimanya berdasarkan kerja waktu tertentu (KWT) atau yang dikenal dengan karyawan kontrak tanpa menggunakan pihak ketiga yang hanya membengkakkan biaya belanja perusahaan terhadap pengeluaran biaya SDM. Dengan demikian diharapkan, makin sejahtera, karyawan semakin termotivasi kerja. Iklim kondusif diperlukan agar produktiivitas pekerja dan perusahaan menjadi suatu keniscayaan.

 

*) Penulis mantan karyawan level manajerial di MNC

 

harvested from 

http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4746:menyambut-hari-buruh-nasional-2014&catid=35:artikel&Itemid=210

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: