UKT, Memberatkan atau Meringankan?

Author : Muhammad Zulfikar Akbar | Senin, 26 Agustus 2013 20:57 WIB

Sudah 68 Tahun Indonesia merdeka, tapi tampaknya pendidikan di negara ini belum ‘merdeka’ untuk beberapa golongan, khususnya golongan menengah kebawah. Pemberlakuan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) oleh pemerintah harusnya perlu pembahasan lebih lanjut. Ambil contoh di Malang, kota yang dikenal sebagai Kota Pendidikan ini di salahsatu PTNnya memberlakukan UKT yang menurut beberapa pihak memberatkan finansial golongan menengah kebawah. Bahkan, beberapa mahasiswa baru (maba) 2013/2014 di PTN tersebut memilih akan menjual ginjalnya untuk membayar biaya kuliah tersebut. Dalam rincian UKT yang dapat diunduh di portal resmi kampus tersebut, dalam UKT ini terbagi menjadi lima golongan yang disusun berdasarkan kemampuan finansial mahasiswa. Finansial tertinggi merupakan golongan pertama, dan finansial terendah ataupun yang memperoleh beasiswa bidik misi dari pemerintah merupakan golongan kelima. Jika dilihat, besaran UKT yang diterapkan tergolong masih bisa dijangkau. Namun yang menjadi masalah adalah pihak kampus memberlakukan untuk membayar UKT selama setahun penuh terlebih dahulu, baru di tahun berikutnya bisa membayar UKT persemester. Hal inilah yang ditentang oleh maba-maba yang bahkan rela akan menjual ginjalnya. Dari pelbagai pemberitaan yang ada, meskipun pihak kampus sudah bekerjasama dengan beberapa bank untuk memberikan kredit lunak kepada mahasiswa yang menengah kebawah, tapi tampaknya para mahasiswa tidak suka berhutang dengan bank.

Kemana anggaran 20 persen untuk pendidikan?

Dari konfirmasi yang didapat dalam pelbagai pemberitaan, besaran UKT dan sistem yang diberlakukan ditujukan untuk pembangunan gedung-gedung baru yang lebih modern. Padahal sebagai PTN, kampus juga seharusnya mendapat pasokan dana dari Anggaran Pemerintah Belanja Negara dan Daerah (APBN-D) sebesar sekurang-kurangnya 20 persen yang sudah diatur dalam UUD 1945 dan diperjelas oleh Mahkamah Konstitusi. Dari kampus sendiri tampaknya belum bisa hidup secara mandiri agar keuangan mahasiswa tidak terbebani. Salahsatu contonya PT Swasta (PTS) yang juga berada di Malang. Kampus tersebut meskipun swasta namun terkenal karena cukup murah dan kualitasnya tidak diragukan lagi. Kenapa bisa murah? Karena kampus berusaha hidup mandiri dengan mendirikan profit center, seperti rumah sakit, bengkel, hotel, toko buku, toko souvenir, SPBU, bahkan usaha pencucian mobil dan motor serta taman rekreasi. Apa hasilnya, biaya kuliah bisa ditekan sedemikian rupa, bahkan jika dibandingkan biaya berkuliah di PTS tersebut persemesternya sama dengan biaya UKT gelombang keempat, bahkan bisa kurang dari itu.

Mahasiswa bukanlah ladang uang buat petinggi-petinggi kampus ataupun petinggi pemerintah. Mereka adalah rakyat yang membutuhkan pendidikan agar mampu merubah bangsa ini menjadi lebih baik di usianya yang semakin tua. Pemerintah seharusnya mulai melihat dan belajar, problematika pendidikan di Indonesia harus terus dibenahi dengan tidak memberatkan golongan menengah kebawah dan menciptakan pendidikan yang adil dan merata. Masyarakatpun harus mulai pintar memilih. Masuk PTN bukan lagi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang baik, apalagi PTN bukan lagi sebagai kampus yang murah, melainkan menjelma sebagai kampus yang mahal. Kampus mahal belum tentu kualitasnya bagus, bahkan bisa jauh dibawah PTS. Sudah saatnya masyarakat melihat pendidikan bukan dari biayanya, tapi dari kualitasnya. Soal biaya kuliah, hanya kesungguhan dari orangtua dalam bekerja, anak dalam belajar, dan doa dari mereka yang akan menjawabnya. Rejeki sudah diatur oleh Sang Pencipta, tinggal bagaimana mengeluarkannya. (***)

Tulisan ini juga diterbitkan di Bontang Post, 26 Agustus 2013 hal .Ekspresi.

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: