Universitas dan Banalitas Intelektual
Author : Imam Sibroh Amolisi | Rabu, 03 April 2013 14:00 WIB
Jika kita
menyebut kata universitas, disana tersimpan sebuah imajinasi tentang ruang,
waktu, dan tempat. Sebuah arena berkumpulnya kaum intelegensia. Wadah
berkumpulnya ide-ide yang sama dan berbeda. Saling bertaut maupun
berkontradiksi atas dasar ilmiah. Universitas, padanya setumpuk perangkat yang
dimiliki. Menjadi alas membangun sekelompok manusia. Tempat dosen dan mahasiswa
terlibat dalam sebuah ikatan yang biasa kita sebut pembelajaran.
Pada universitas, di sana ada setandang harapan agar anak-anak bangsa dididik,
diberi ilmu pengetahuan, dan diajarkan tentang moralitas. Hingga anak-anak
bangsa menjadi generasi yang memakmurkan negeri. Dalam universitas, kita
berharap di sana tentang sentral-locus masyarakat untuk mencontoh. Wadah
menyemai hal-hal baru untuk ditiru. Menjadi tempat kontinyuitas ide-ide ilmiah
berjalan dalam bingkai akademik yang sehat. Ia adalah ruang di mana
kualitas akademik selalu diperbaharui guna menjawab problem sosial.
Menurut Prof. Heru Nugroho, seorang sosiolog UGM. Dalam pidatonya pada acara
Pengukuhan Jabatan Guru Besar di Fakultas IImu Sosial dan IImu Politik UGM,
mengatakan bahwa universitas merupakan tempat bertemunya para sarjana dalam
rangka mencari kebenaran akademik melalui berbagai bentuk riset dan sekaligus
sebagai tempat mengembangkan kapasitas diri melalui disiplin yang diyakini oleh
masing-masing insan akademik. Selain itu pada universitas menurutnya,
adalah tempat para sarjana mengajar mahasiswa saling menukar ide melalui debat,
diskusi, seminar dan polemik.
Tapi benarkah universitas seperti itu? Sebuah tanya, bila kita ajukan
sepertinya ada perasaan yang getir, miris yang menyertaianya. Sepertinya kita
menemukan jarak yang begitu rentan antara idealitas dan kenyataan. Disana
ada ruang kosong yang mana, semestinya tak berjalan secara sistematis. Di
universitas, kita sangat susah menemukan sebuah keteladanan yang baik. Lalu apa
yang kita saksikan sekarang ini di universitas?
Sekarang ini, kita menemukan sebuah perlombaan. Para universitas berlomba
memperluas areanya-tanah berhektar-hektar dengan gedung yang tinggi dan megah
diatasnya. Berburu memperbaiki sistem administrasi dengan peralatan teknologi
yang canggih. Namun dibalik semua itu, dengan mengutip Prof. Heru Nugroho,
universitas kehilangan organisasi manusia yang memiliki aktivitas akedemik.
Universitas dalam artian tempat telah terjebak pada dimensi fisik. Ia telah
bergeser jauh sebagai ruang meeting of mind para akademisi. Para intelektual
didalamnya terjebak pada banalitas intelektual. Dengan merujuk Benda
[2007], Prof Heru mengungkap bahwa terjadinya banalitas intelektual, ini
ditandai - pertama, dengan maraknya penghiantan intelektual. Dimana pada kampus
terjadi sebuah penghiantan akademik. Sebuah lakon para akademis yang lebih
tertarik pada nilai pragmatis daripada nilai pengetahuan. Pengajaran dan
penelitian yang dilakukan tak lain hanya untuk menambah pendapatan. Pengajaran
dan penelitian bukalah jalan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan akan tetapi ia
hanya menjadi proyek untuk menambah pundi-pundi.
Barangkali pada saat ini, kita tak lagi menemukan para akademis [dosen] menjadi
pengawal fefleksi kritis dan mempertahankan nilai-nilai abstrak - nilai
kebenaran, keadilan atas dasar rasional. Para dosen tak sedikit hanya
menjadikan kampus sebagai kerja sambilan dan diluar kampus sebagai kerja utama.
Diluar sana para dosen banyak mengambil peran sebagai staf khusus, konsultan,
direktur dan deputi. Dan barangkali yang lebih ironi, tak sedikit mereka
menjadi bawahan dari lembaga donor. Menjadi private intelektual yang bertugas
menjaga kepentingan asing .
Para dosen menjadi private Intelektual. Ia sepertinya begitu menikmati menjadi
apa yang sebut oleh Jean Claude Milner, seorang psikoanalis sebagai borjuasi
upahan. Mereka menjadi kaki tangan dari sebuah proses kerja kapitalisme. Mereka
adalah “buruh” yang diberikan posisi istimewa oleh pemilik modal. Bersantai
dengan waktu luang yang luas serta pendapatan yang besar. Mereka begitu larut
sebagai kelas menengah yang memang kata Zizek disana kapitalisme punya
kepentingan untuk menjaga itu sebagai langkah politisnya.
Tanda kedua dari banalitas intelektual menurut Prof Heru, yakni timbulnya
gejala para intelektual kampus sering muncul di TV. Mereka “memamerkan” intelektualnya-
[intellectual of the spectacle]. Pada fenomena ini, kita banyak menyaksikan
para intelektual diundang menjadi narasumber untuk acara talk show.
Diacara itu, mereka berbincang ringan tentang sosial, politik, budaya atau
ekonomi yang sedang populer. Dengan keseringan diundang lalu mereka
dengan instan dilabeli sebagai “pakar” oleh televisi. Sebuah gelar yang
dimilikinya bukan karena dari kerja keras untuk menghasilkan penelitian yang
berbobot.
Fenomena seperti ini oleh Prof Heru, dengan mengutip DeBord [1995] bahwa sebuah
kulaitas kehidupan yang dimiskinkan oleh lack of authenticity. Pemikiran kritis
telah dihalangi karena semua telah terbius oleh masyarakat pameran-[Spectacular
society]. Masyarakat pameran terjadi karena Sebuah keberadaan [being] telah
tenggelam ke dalam kepemilikan [having] dan kepemilikan larut dalam penampilan
[appearing]. Sebuah siklus, di mana media begitu lihai bermain.
Ciri ketiga dari Banalitas intelektual bahwa ia termasuk kegiatan akademik yang
involutif. Mungkin kita semua tahu bahwa pasca-reformasi kegiatan
akademik [penelitian, seminar, diskusi] di universitas begitu marak. Namun
semua itu tak berefek pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Universitas dan para intelektualnya layaknya pasar tradisional yang riuh dengan
suara penjual dan pembeli akan tetapi suara itu tak begitu jelas-ternyata
terjadi fenomena juxtapose istilah Prof Heru. Sebuah kegiatan dimana para
akademisi kampus, secara simultan melakukan kegitan pengajaran, penelitian dan
pengabdian akan tetapi cenderung tidak saling terkait antara satu dengan yang
lain.
Pada ruang yang lain, kampus juga bisanya lebih tertarik pada wacana politik
kampus daripada penelitian dan diskursus akademik. Beberapa moment
seperti pemilihan rektor dan dekan menjadi ruangnya. Pada moment itu, terjadi
sebuah forum mobilisasi dari para calon. Ironinya tidak sedikit para profesor
dan doktor sibuk dengan mobilisasi itu. Bahkan diantara mereka banyak yang
berhasrat pada jabatan itu.
Sepertinya moment-moment politik adalah ruang, dimana hasrat yang mungkin saja
sudah lama terpendam dapat tersalurkan. Mungkin saja para profesor dan doktor
itu tak punya ruang politik [tidak laku] di luar kampus hingga menjadikan dalam
kampus sebagai alternatifnya. Dengan kesibukan pada politik kampus. Para
profesor dan doktor itu, tak lagi peduli pada tugas utamanya. Pengajaran dan
penelitian menjadi terabaikan. Harapan akan ide-ide baru. Solusi akan problem
sosial dari mereka tinggal menjadi harapan. Ia telah terbang bersama prilaku
banalitas intelektualnya.
Shared:
Komentar