Jakarta (ANTARA News) - Berjuang diantara jenis musik yang sedang digandrungi anak muda, seniman keroncong Koko Thole beusaha mengenalkan keroncong pada generasi baru.

Koko Thole, yang ditemui saat jumpa media konser penyanyi Indra Utami Tamsir, Senin (19/8) malam,  mengatakan selama beberapa waktu belakangan, ia berusaha mengajarkan keroncong pada anak-anak muda di Indonesia.

"Kemasannya apapun yang paling dekat dengan anak muda. Saya caranya, misalnya pakai lagu Noah, Armada, kita bikin aransemen, iringi dengan keroncong," jelasnya.

Cara yang paling dekat menurutnya adalah melalui gitar dan ukulele, alat musik yang kerap dimainkan anak-anak muda. Strateginya, ia mengenalkan jenis musik yang sedang digandrungi anak muda sebelum memberi tahu tentang keroncong.

"Promosinya, ibaratnya tipu-tipu dikit. Habis itu kasih tahu keroncong," katanya dan tertawa.

Baginya, begitu bersinggungan dengan musik pop, keroncong berusaha mengimbanginya.

"Waktu mengiringi musik pop dengan keroncong, kita tidak boleh kaku. Yang penting harmoninya masuk. Kalau nggak begitu, anak muda lari semua," tuturnya.

Fleksibilitas keroncong terhadap musik terkini dilakukannya tanpa melanggar pakem keroncong, terdiri dari 28 bar dengan teknik bernyanyi gregel, cengkok, luk, dan embat.

Ia pun tidak hanya mengenalkan keroncong terbatas pada pemuda Jawa. Bahkan beberapa penerus keroncong berasal dari Sumatra, katanya.

"Keroncong itu bukan milik orang Jawa, tapi Indonesia," kata Tuti Maryati, penyanyi keroncong, saat ditemui di kesempatan yang sama.

Meski Koko optimis karena banyak anak muda yang ingin mengenal keroncong, tidak berlaku bagi keroncong langgam Jawa. Langgam Jawa merupakan bagian dari keroncong. Bedanya, bila keroncong terdiri 28 bar, langgam Jawa memiliki 32 bar dan menggunakan bahasa tinggi, seperti kromo inggil, Jawa Kawi, dan Sansekerta.

Menurutnya, langgam Jawa sulit menggapai anak muda karena harus berpegang pada pakem-pakem tersebut. Ia mencontohkan, bila salah satu "dilanggar", misalnya dalam hal bahasa, bobot langgam Jawa seperti berkurang.

Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada langgam Jawa yang tidak menggunakan bahasa Jawa tinggi. Salah satunya, katanya, "Yen Ing Tawang", yang menggunakan bahasa biasa dan bisa diterima.

"Kita nggak usah pura-pura, (langgam Jawa) sulit. Saya aja sebagai pelakunya pesimis, gimana mereka (orang di luar keroncong langgam Jawa). Makanya, penggarapan harus menarik," tutupnya.