Jakarta - Dalam semangat demam film religi dan syuting di luar negeri yang tengah menjangkiti perfilman Indonesia, 'Kukejar Cinta ke Negeri Cina' adalah jualan terbaru produser Chand Parwez setelah 'Aku, Kau & KUA' (Monty Tiwa). Walaupun judulnya tak secara gamblang menyiratkan tema keislaman, kedua film tersebut sama-sama dibebani moral cerita agamis yang sepertinya ditujukan khusus pada pasar ABG, terutama anak-anak 'rohis' di sekolah menengah. Film ini mungkin saja dapat dijadikan bahan percontohan bagi mereka tentang kiat-kiat berperilaku syar’i antarsesama, dan didiskusikan di musala sekolah selepas jumatan. Terdengar istimewa bukan?
Diceritakan, Imam (Adipati Dolken, ’Adriana’, ’Aku Kau & KUa’) berpacaran dengan Widya (Nina Zatulini, ’Aku, Kau & KUA’), juniornya semasa di kampus. Kini Widya sudah bekerja, sedangkan Imam masih jadi mahasiswa abadi yang sedang berusaha menyelesaikan skripsinya. Suatu ketika mereka makan siang bareng, dan Imam merasa risih bahwa cowok di meja sebelah rupanya jelalatan memperhatikan Widya yang berseragam kantor dengan rok mini. “Bisa kali nggak diumbar-umbar!” tegus Imam kesal pada Widya, lalu mereka pun cekcok.
Secara penampilan, Imam terlihat seperti anak band ibukota; mengenakan skinny jeans, rambut gondrong, tatoan, dan tindik di telinga. Tapi, sebagai “rockstar”, idolanya sepertinya bukanlah Mick Jagger atau Adam Levine, melainkan Dude Herlino dalam setiap perannya di sejumlah film. Sebab, terlepas dari penampilan urakannya, Imam rupanya mendambakan sosok kekasih yang salehah bak Aisah dalam 'Ayat-ayat Cinta' atau Anna Althafunnisa dalam 'Ketika Cinta Bertasbih'.
Sosok kekasih dambaannya itu ia temukan ketika sedang jalan-jalan ke sebuah kelenteng bersama temannya yang beretnis Cina, Billy (Ernest Prakasa, ’Comic 8’). Di sana ia bertemu dengan Chen Jia Li (Eriska Rein, ’Aku Kau & KUA’, ’Cinta Brontosaurus’), muslimah dari daratan Cina yang sedang bertamasya sambil mengenal peninggalan leluhurnya yang pernah hidup di Indonesia. Imam jatuh hati pada pandangan pertama, dan segera berpaling dari Widya yang masih setia mencintainya.
Naskah film yang ditulis duo Novia Faizal ('Cinta Tapi Beda') dan Ninit Yunita ('Mari Lari') ini lemah hampir di segala lini, khususnya pencitraan karakter dan dialog yang terasa lebih cocok untuk film anak-anak. Tokoh Imam misalnya, sulit sekali untuk mempercayai keberadaannya sebagai karakter yang solid. Anak-anak di bawah usia 13 tahun mungkin bisa percaya ada mahasiswa dungu nan ganteng dan tatoan yang tak pernah salat namun amat moralis bahkan terhadap pacarnya sendiri. Akan tetapi, bahkan ABG yang baru akil baliq pun rasa-rasanya bakal menganggapnya sebagai tokoh yang mustahil. Rupanya, terlepas dari keurakannya, Imam dimaksudkan sebagai sosok inspirasional penuh budi pekerti yang diharapkan bisa jadi panutan pemuda senusantara. Ia semacam Fahri dari 'Ayat-ayat Cinta' yang terjebak dalam tubuh anak band.
Tokoh Chen Jia Li, cewek muslim dari Cina yang diceritakan amat salehah pun ditulis sama dangkalnya. Bila memang ia begitu menjunjung tinggi cara berperilaku yang syar'i, seperti tidak pacaran namun berkhitbah, tidak kontak fisik seperti salaman dengan yang bukan muhrim, rasanya amat mustahil cewek muslimah yang salehah ini mau berjalan-jalan berdua-duaan dengan lawan jenis, boncengan naik sepeda motor, dan tanpa ditemani orang lain. Dalam pandangan Chen Jia Li, dan ini tentu saja bila karakternya ditulis secara konsisten, bukankan berdua-duaan dengan bukan muhrim itu bakal mengundang fitnah? Karakter Hayati dari 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' yang tak berkerudung secara syar’i saja jauh lebih salehah ketimbang Chen Jia Lia --ingat adegan saat ia menemui Zainudin di tepi danau dengan ditemani seorang anak kecil?
Eriska Rein juga tak mampu menghidupkan karakternya jadi tampak lebih masuk akal. Sebagai orang Cina yang hanya mengerti beberapa patah kata bahasa Indonesia, usaha pertamanya untuk berbicara satu kalimat dengan logat mandarin sedikit berhasil. Namun, setelah itu segala usahanya gagal untuk meyakinkan kita bahwa ia cewek Cina tulen. Dialog mandarinnya terdengar kaku, selebihnya sepanjang durasi film ia terlihat bak cewek lokal dari Citayam yang baru belajar bahasa Indonesia.
Sutradara Fajar Bustomi ('Tak Kemal Maka Tak Sayang', 'Remember When') seakan tak mempedulikan kelemahan naskah, dan karena itu ia tak membuat arahannya menjadikan film ini sedikit lebih baik. Gaya visual dan pengadeganan film ini terlihat murahan, sama sekali tak sinematis. Ditambah, ia tak berhasil meyakinkan kita dalam membangun adegan ketika Imam jatuh hati pada Chen Jia Li pada pandangan pertama; tak ada yang istimewa pada adegan pertemuan mereka itu.
Pembuat film ini rasanya kurang peka dalam membangun semesta rekaan yang meyakinkan, atau bila saya boleh berprasangka baik, mungkin mereka sedang bergurau saja. Lihat saja misalnya Mithu Nisar, produser eksekutif film ini, yang berwajah lokal sedikit kearab-araban, nekad ikut berperan sebagai Ma Fu Hsien, cowok Cina guru wing chun di Beijing! Tunggu hinggu ia dan Eriska Rein berduet berdialog Mandarin, Anda bakal dibuat terpingkal-pingkal, atau paling tidak, misuh-misuh geli karena kecanggungan keduanya.