'Sebelum Pagi Terulang Kembali': Film Antikorupsi sebagai Drama Keluarga yang Memikat

Author : Administrator | Rabu, 14 Mei 2014 13:48 WIB | Detik News - Sinema
http://images.detik.com/content/2014/05/14/218/sebelumpagidlm.jpg

Jakarta -

Ada beberapa film Indonesia yang rilis satu-dua minggu kebelakang namun terpaksa saya lewatkan untuk mengulasnya di situs ini. Bukan karena saya tak sempat menontonnya, namun lebih karena bobot kualitas film yang begitu jauh di bawah rata-rata, begitu nihil hingga tak menyisakan bahasan apa-apa untuk diulas. Atau, kalau mau saya paksakan mungkin isi ulasannya bakal berupa caci-maki belaka tentang buruknya naskah yang ditulis, tentang seberapa berantakan pengarahan sang sutradara, atau ocehan-ocehan saya soal ketidakmasukakalan film tersebut. Menanggapi kondisi ini, saya dan teman-teman bahkan sempat berkelakar di jejaring Twitter bahwa sudah semestinya kita lebih selektif lagi memilih film (Indonesia) yang akan kita tonton; jangan hanya mendukung secara buta gerakan #kamiskebioskop, namun juga harus #selektifnontonfilmindonesia. Semua itu demi, ehem, kemajuan perfilman Indonesia itu sendiri, dan tentu saja --ini yang paling penting-- kepuasan kita.

Lantas apakah film 'Sebelum Pagi Terulang Kembali' ini cukup memuaskan di antara pilihan tontonan lainnya?

Anda jangan terkecoh dulu dengan judulnya yang terdengar puitis itu, 'Sebelum Pagi Terulang Kembali' bukanlah kisah drama romansa dua sejoli yang sedang kasmaran, bukan soal kisah sepasang manusia yang saling tertarik satu sama lain ala film 'Before Sunrise' garapan Richard Linklater dari Hollywood itu. Walau secara pilihan judul film ini memang bakal sangat pas bila bercerita soal yang romantis-romantis, tapi yang cukup mengejutkan, film ini rupanya berkisah soal korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini merupakan film "pesanan" dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung pula secara finansial oleh USAID dan beberapa instansi lain. Sebagai sebuah "film pesanan", 'Sebelum Pagi Terulang Kembali' lumayan sukses tampil memikat tanpa terasa garing serta penuh khotbah seperti film sejenis yang sudah-sudah.

Ditulis oleh Sinar Ayu Masie ('3 hari untuk selamanya', 'Cinta Dari Wamena'), isu seputar tema besar film ini dikemas dalam suguhan drama keluarga yang, lagi-lagi saya harus mengatakan ini: memikat! Selain didukung cerita yang baik, film ini juga dipenuhi oleh jajaran aktor yang tak main-main, dan mereka semua bermain secara impresif di film ini.

Yan (Alex Komang, '9 Summers 10 Autumns', 'Romeo Juliet') adalah pejabat di Kementrian Perhubungan yang dikisahkan lurus-lurus saja, jujur, di usianya yang menjelang pensiun. Satu ketika, cobaan itu datang saat salah seorang anaknya, Satria (Fauzi Badila, 'Mengejar Matahari, '9 Naga'), mengajukan proposal agar ia diberi kesempatan menangani proyek pembangunan pelabuhan lewat cara-cara di luar prosedur. Satria tak bergerak sendirian, di belakangnya ada Hasan (Ibnu Jamil, 'Hari Ini Pasti Menang') seorang anggota DPR korup yang memiliki koneksi dengan anggota DPR lainnya (diperankan dengan asyik oleh duo sineas Joko Anwar dan Richard Oh) demi memuluskan usaha-usaha mereka.

Di rumah Yan, keadaan begitu hangat, ada istrinya, Ratna (Nungki Kusumastuti, 'Di Balik Kelambu', 'Finding Srimulat'), seorang dosen filsafat, juga ada eyang Soen (Maria Oentoe, 'Badai Pasti Berlalu', 'Ca Bau Kan'), ibunda Yan yang tinggal bersama di rumah itu. Dian (Adinia Wirasti, 'Ada Apa Dengan Cinta?', Laura & Marsha') anak bontot kesayangan semua keluarga, menjalin hubungan asmara dengan Hasan. Lalu ada Firman, anak sulung yang baru saja cerai dan kini menganggur, ikut tinggal bersama mereka. Kisah merekalah yang kita saksikan, drama keluarga yang penuh emosi, intrik, dan tak jarang diselipi guyon, sesuatu yang amat lekat dengan keseharian kita. Oh, hampir terlewat, bahkan tokoh pembantu di rumah itu, Nisa (Maryam Supraba, 'Kisah 3 Titik') dan suaminya yang menjadi sopir Yan, Jaka (Ringgo Agus Rahman, 'Tampan Tailor', 'Leher Angsa') memiliki cerita yang sama-sama menarik dan tak hadir sekedar jadi bagian subplot yang tak penting.

Masalah yang kerap menjangkiti "film pesanan" adalah penyampaian pesan-pesan titipan itu sendiri yang biasanya terlontar "kasar", terlalu maksa dan pada akhirnya menjadikan filmnya sendiri menjadi norak, syukur-syukur tak membuat penontonnya garuk-garuk kepala. Namun, Sinar Ayu Masie lumayan jeli mengakali hal itu, isu-isu seputar moral, pesan-pesan anti korupsi itu terselip lewat ceramah-ceramah yang disampaikan Ratna di kelasnya mengajar, juga dalam konflik-konflik yang terjadi di antara anggota keluarga.

Yan, mungkin saja seorang pegawai yang paling jujur di kementrian tempatnya bekerja, tak suka grasak-grusuk di bawah meja, singkat kata; bersih. Ia bisa jadi "tokoh pesanan" yang segogyanya dapat dijadikan role model bagi pejabat-pejabat yang lain untuk diteladani. Tapi toh pembuat film tak senaif itu menceritakan Yan, dikisahkan sebagai orang yang jujur, Yan pada akhirnya tersisihkan juga, dikalahkan oleh sistem yang korup. Alex Komang cukup berhasil menghidupkan perannya, kita dapat memahami dan mengerti betul apa yang dialaminya hanya dengan sekedar menatap binar matanya. Pun dengan Nungki Kusumastuti sebagai Ratna, kemunculannya memang tak begitu banyak di film ini, namun sangat efektif menarik hati. Lihat misalnya adegan ia ngerumpi bersama rekan dosen membahas isu perceraian ketika di halaman kampus. Dialog yang terkesan remeh tapi nyatanya begitu mengena. Dan, jangan lupakan juga adegan ia marah melampiaskan kekecewaan terhadap Firman yang ketahuan bermain api dengan Nisa. Sorot mata dan getar bibirnya mampu berbicara lebih dari sekedar gambaran seorang ibu yang kecewa dan resah akan nasib yang sedang menghadang keluarganya.

Teuku Rifnu Wikana, Fauzi Badila, Adinia Wirasti, Ibnu Jamil, bermain apik dengan perannya masing-masing. Walau terkadang logat Teuku Rifnu dalam berdialog terasa mengganggu, namun itu terbayar lewat pembawaannya sebagai Firman yang begitu mengena. Ringgo Agus Rahman bahkan bermain cukup bagus di film ini dalam peran kecilnya sebagai sopir pribadi Yan. Maria Oentoe sebagai Soen begitu penuh kharisma, seperti halnya Roy Marten yang tampil cameo, menyaksikan penampilan terbaik aktor-aktor ini adalah sebuah kesenangan tersendiri.

Sutradara Lasja F. Susatyo cukup berhasil mengemas kisah dari sejumlah tokoh tadi jadi tontonan drama keluarga yang amat lain dari yang biasa kita saksikan. Tentu saja ada beberapa kekurangan yang saya sesalkan dalam penyutradaraannya kali ini, seperti tak adanya penggambaran yang lebih soal suasana di kantor KPK, atau soal lobi-lobi yang terjadi di gedung DPR. Yang tersaji malah penampakan beberapa establishment shot gedung dari luar, dan karena itu film ini jadi tampil kurang wah. Tentu akan sangat menarik bila kamera mampu menelisik ke dalam ruang-ruang di kantor KPK, merekam pertemuan-pertemuan para penegak hukum itu menyusun strategi menangkap incaran mereka, atau juga mengintip suasana di dalam gedung DPR. 

Sumber: http://hot.detik.com/movie/read/2014/05/14/101659/2582072/218/sebelum-pagi-terulang-kembali-film-antikorupsi-sebagai-drama-keluarga-yang-memikat
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: