Ada fenomena tentang sebuah rasa
rindu akan sosok pemimpin yang “benar-benar” pemimpin di mata rakyat. Hal ini
tergambar jelas pada sosok Presiden Era Orde Baru. Ya, Presiden Soeharto.
Akhir-akhir ini masyarakat tentu tak asing lagi dengan gambar Pak Harto tersenyum
dengan melambaikan tangan dan tulisan yang terpampang jelas di bak truk dalam
bahasa jawa yang berbunyi “Piye Kabarmu Le, Penak Jaman ku ,toh?” (Gimana Kabarmu Nak, Masih Enak
Zamanku, Toh?), jelas sekali merepresentasikan
kebosanan rakyat atas pemerintahan saat ini.
Terlepas dari sisi buruk yang
dilakukannya, citra Pak Harto dikalangan rakyat menengah bawah masih sangat
lekat dan terasa. Presiden masa Orde Baru ini telah berhasil mensejahterakan
rakyat. Mereka (rakyat) sampai saat ini merasa belum ada pemimpin yang memiliki
karakter seperti Pak Harto. Walaupun pada akhir karir politiknya, Soeharto
mendapatkan banyak gunjingan dan hinaan dari berbagai kalangan termasuk dari
para kroni-kroninya sendiri. Sosok ini masih fenomenal dan terbaik dikalangan
masyarakat kecil.
Pascareformasi, masalah yang ada di
bangsa Indonesia ini kian hari seolah semakin rumit dan tidak pernah menemukan
ujung. Misalnya, semakin masifnya permasalahan korupsi, menjamurnya mafia hukum, anarkisme, terorisme, kekerasan yang
mengatasnamakan agama dan lain sebagainya.
Permasalahan itu pastinya berpengaruh pada
pamor bangsa di mata internasional yang pelan-pelan memudar. Dengan demikian,
tak heran jika banyak masyarakat yang merindukan sosok Soeharto. Sisi baik dari
kepemimpinan ingin kembali dimunculkan untuk mengatasi banyakknya permasalahan
yang tak kunjung usai. Hal ini dikarenakan masyarakat sedang dalam krisis
kepercayaan terhadap para pemimpin.
Keberhasilan Soeharto
Teriakan-teriakan rakyat kecil yang saat ini yang
tidak terlalu digubris oleh pemimpin menjadikan mereka rindu akan sosok
Soeharto. Suara yang menyejukkan tentang Bapak Pembangunan ini muncul lantaran
tidak ada pemimpin pada masa reformasi hingga saat ini yang menorehkan hasil
yang cukup memuaskan seperti masa Soeharto.
Keberhasilan Soeharto yang dirasakan oleh
rakyat antara lain perbaikan dan menumbuhkan perekonomian. Diakhir pemerintahan
Soekarno, Indonesia mengalami inflasi. Akibatnya, harga bahan pokok melesat
tinggi hingga ekonomi Indonesia berantakan. Strategi yang digunakan Soeharto saat
itu adalah dengan menunjuk orang yang disebut dengan “Mafia Berkeley”, yaitu
para ekonom yang cenderung “kebarat-baratan” untuk mengatasi krisis ekonomi ini
sukses meningkatkan ekonomi Indonesia, sehingga dapat terhindar dari inflasi
dan keterpurukan ekonomi.
Kemudian kita juga pernah mendengar kesuksesan
tentang Swasembada Pangan. Pada tahun 1980-an, Indonesia berhasil swasembada
pangan hingga menembus angka 25,8 juta ton beras. Hasil yang cukup fantastis
itu berhasil menyulap Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia,
menjadi bangsa yang surplus beras.
Selain itu, pada saat kempemimpinannya, beliau
mampu mengendalikan keamanan dan ketertiban sosial. Misalnya, kekerasan antar
agama yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Tidak adanya demo yang
anarkis yang saat ini sering terjadi hingga membuat masyarakat resah dan
gelisah karena toleransi masih sangat dihargai dan terkoordinasi dengan pihak
keamanan. Dan yang paling dirasakan rakyat saat itu adalah harga bahan pokok
yang murah. Fluktuasi harga bisa dibatasi. Berbeda dengan saat ini, harga bahan
pokok tidak menentu.
Kritik dan Harapan
Masa-masa itu menunjukkan keperkasaan
kepemimpinan Soeharto atas segala keberhasilannya. Pada masa kepemimpinannnya,
ia telah menunjukkan suatu prestasi yang gemilang, walaupun terdapat kekurangan
yang perlu dibenahi.
Ironisnya, masa reformasi yang seharusnya
membenahi kekurangan pada zaman Orde Baru malah berbalik arah. Bukan sebuah
prestasi yang didapat namun seolah kekurangan tersebut ditambah. Demokrasi yang
dieluh-eluhkan hingga dapat menutupi kekurangan di era Pak Harto kian salah
kaprah. Begitu pula sistem demokrasi dengan pemimpin yang dipilih langsung oleh
rakyat sudah dijalankan, akan tetapi hingga saat ini tidak membawa perubahan yang
berarti.
Sesungguhnya kerinduan terhadap pemerintahan
Soeharto juga dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap pemimpin saat ini.
Kebanyakkan pemimpin saat ini adalah orang-orang yang vokal pada saat reformasi.
Mereka yang dulu mengkritik masa Orde Baru dan menawarkan “janji-janji” baru
yang menggiurkan bagi rakyat untuk memilih mereka sebagai pemimpin. Tak sedikit
pula janji hanya sekedar janji. Apalagi menjelang pemilu 2014, menawarkan
“janji-janji” sudah menjadi sebuah tradisi. Setelah benar-benar dipilih oleh
rakyat janji itu hanyalah isapan jempol belaka.
Berbeda dengan Soeharto yang tidak banyak
bicara dan lebih suka bekerja. Beliau sangat berambisi menghasilkan sesuatu
yang nyata bagi bangsa Indonesia. Kerinduan akan sosok Pak Harto juga bermakna
sebagai harapan terhadap pemimpin yang baru yang bisa mengatasi krisis
kepemimpinan dan kepercayaan. Pemimpin yang tegas, berani, banyak bekerja,
prorakyat dan bertanggung jawab sangat dirindukan.
Pada dasarnya semua orang berhak menjadi
pemimpin. Tetapi, kursi presiden bukanlah tempat yang tepat untuk mencari
kebanggaan diri atau mengaktualisasikan diri. Rasa rindu yang masih multi
tafsir ini sebenarnya sebuah kritik dan harapan masyarakat terhadap
pemimpinnya. Kesuksesan saat Orde Baru dijadikan acuan karena masyarakat kecil
belum sampai merasakan kesejahteraan seperti saat dipimpin oleh Soeharto.
Harapan masyarakat dapat melahirkan sosok
Soeharto sebagai pemimpin yang tegas dan memikirkan rakyatnya serta membuang
jauh-jauh keburukan yang dilakukannya dulu. Indonesia harus bangkit dari
keterpurukan dan julukan Macan Asia akan kembali disematkan kepada Indonesia. Oleh
karena itu, kerinduan terhadap Soeharto bukan sebuah kerinduan yang tidak tahu
diri dan tidak mengerti seluk beluk sejarahnya. Kerinduan akan sosok pemimpin
yang bisa mensejahterakan rakyatnya. Apalagi rakyat kecil banyak yang tidak
tahu tentang politik, mereka hanya ingin hidup makmur.