Malang (beritajatim.com) – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal 2025 memicu kekhawatiran luas di masyarakat, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Kebijakan ini, yang awalnya bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur, justru dianggap membebani daya beli masyarakat kecil.
Muhammad Sri Wahyudi S, S.E., M.E., Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menyatakan bahwa kenaikan PPN ini dapat memperburuk kesenjangan sosial. Ia menegaskan pentingnya kebijakan pendamping agar dampak negatifnya tidak semakin meluas.
“Kenaikan PPN 12 persen akan memukul daya beli masyarakat, terutama golongan ekonomi bawah. Tanpa kebijakan pendamping, dampaknya bisa menjadi bom waktu bagi perekonomian,” ujar Yudi pada Jumat (27/12/2024).
Yudi menjelaskan bahwa meski kebijakan ini terutama menyasar barang dan jasa kategori premium, dampaknya tetap merembet ke sektor ekonomi lebih luas. Ia mencontohkan produk makanan dan minuman berbahan baku premium yang akan mengalami kenaikan harga, memengaruhi rantai pasok kebutuhan dasar.
“Efek domino dari kebijakan ini sangat nyata. Ketika barang premium naik, masyarakat akan beralih ke barang non-premium, yang akhirnya menaikkan permintaan dan harga barang tersebut,” tambahnya.
Menurut Yudi, kebijakan ini cenderung menguntungkan kelas ekonomi atas, sementara masyarakat kecil menjadi korban perubahan pola konsumsi. Ia menyerukan pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret demi melindungi kelompok rentan.
Beberapa langkah yang diusulkan Yudi meliputi pemberian subsidi langsung kepada kelompok ekonomi bawah, insentif pajak bagi UMKM dan sektor industri padat karya, peningkatan upah minimum regional (UMR) yang sebanding dengan kenaikan biaya hidup.
“Tanpa langkah-langkah tersebut, kebijakan ini hanya akan memperbesar kesenjangan dan meningkatkan risiko krisis sosial,” jelasnya.
Yudi juga mengimbau masyarakat untuk lebih bijak mengatur pengeluaran dengan langkah-langkah seperti efisiensi belanja dan fokus pada kebutuhan pokok, beralih ke produk lokal non-premium, dan mengurangi konsumsi barang dan jasa tidak esensial.
“Kenaikan PPN 12 persen ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa sinergi antara masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil,” tutupnya.
Dengan berbagai tantangan yang menyertai kebijakan ini, pemerintah dituntut untuk segera memberikan solusi nyata. Jika tidak, kenaikan PPN 12 persen dapat menciptakan krisis sosial dan ekonomi yang merugikan mayoritas rakyat Indonesia. [dan/beq]