Malang (beritajatim.com) – Program makan bergizi gratis yang diusung pemerintah untuk anak sekolah mendapat tanggapan pakar gizi sekaligus dosen keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Erma Wahyu Mashfufa, S.Kep., Ns., M.Si. Menurutnya, tanpa pengelolaan dan pengawasan yang matang, program ini berisiko gagal mencapai tujuan meningkatkan status gizi generasi muda.
“Program ini bagus, tetapi harus ada kontrol ketat. Kebutuhan gizi setiap anak berbeda, tergantung usia dan fase pertumbuhannya. Tidak bisa asal disamaratakan tanpa perhitungan detail,” tegas Erma, pada beritajatim.com, Jumat (17/1/2025).
Erma memaparkan bahwa ada beberapa kendala besar dalam pelaksanaan program ini. Salah satunya adalah kurangnya kolaborasi antara sekolah, penyedia makanan, dan ahli gizi.
“Penyedia makanan seringkali tidak memahami standar gizi. Akibatnya, makanan yang disajikan tidak sesuai kebutuhan anak atau malah berisiko menimbulkan masalah kesehatan seperti alergi dan keracunan,” jelas dosen UMM yang pernah belajar di S1 Keperawatan Universitas Brawijaya.
Erna menekankan bahwa makanan yang diberikan harus segar dan sesuai standar kebersihan. Anak-anak di sekolah memiliki sistem imun yang belum maksimal. Jika makanan basi atau tidak berkualitas, resikonya sangat besar.
Menurut Erma, program ini membutuhkan quality control (pengawasan kualitas) di setiap tahap. Mulai dari identifikasi kebutuhan gizi anak, penyusunan menu, hingga pengawasan penyediaan makanan, semuanya harus dilakukan dengan teliti.
“Sebelum program berjalan, sekolah harus melakukan identifikasi alergi pada anak-anak. Kalau ada anak yang alergi, harus disiapkan alternatif makanannya. Ini penting agar tujuan program tercapai,” ujar lulusan Fisiologi Universitas Airlangga ini.
Erma menegaskan, keberhasilan program makan bergizi gratis tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga melibatkan sekolah, pendamping gizi, orang tua, dan penyedia makanan. Semua pihak harus memahami tujuan program ini dan bekerja sama untuk mencapainya.
“Kalau ada pihak yang tidak memahami inti program, misalnya penyedia makanan yang hanya fokus pada keuntungan tanpa peduli gizi, maka program ini tidak akan berhasil,” tegasnya.
Dengan perencanaan matang, pengawasan ketat, dan kerja sama yang baik dari semua pihak, Erma yakin program makan bergizi gratis dapat menjadi solusi nyata untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia.
“Pemerintah harus memastikan bahwa setiap tahap program berjalan sesuai standar. Jangan sampai program mulia ini menjadi bumerang bagi anak-anak,” tutupnya. (dan/but)