Oleh
Rachmad K.Dwi Susilo
Sekretaris Program Studi Sosiologi S2 & S3 pada Direktorat Program Pasca Sarjana (DPPS) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ph.D dan lulusan Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang
Debat keempat pilpres 2024, Minggu, 21 Januari 2024 yang mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa masih menyisakan kritik dan evaluasi.
Kelebihan debat ini kita menyaksikan kebolehan pengetahuan dan pengalaman cawapres terkait isu ekologis bangsa Indonesia. Beragam perspektif muncul saat debat berakhir. Sedangkan kelemahan debat ini yaitu kita belum melihat rencana jitu, agenda kongkret dan komitmen paslon untuk perbaikan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam lima tahun ke depan.
Cawapres 1 menawarkan etika lingkungan sebagai solusi masalah lingkungan dan iklim, persoalannya masih sangat normatif dan sulit menjadi standar kebijakan. Pengalaman riset penulis menyatakan, etika lingkungan personal dan tidak mudah disebarkan sebagai praktik umum.
Cawapres no 2 menjelaskan pemanfaatan sumber daya alam dan energi baru dan terbaharukan (EBT). “Janji”, rencana atau strategi masih belum memadai mengingat pengelolaan sumber daya alam tidak steril dari relasi kuasa. Selain itu, politik pengetahuan EBT masih elitis khususnya bagi masyarakat bawah.
Cawapres no 3 mengangkat perspektif politik hukum lingkungan tentang keadilan ekologis, kearifan lokal dan ancaman bencana lingkungan. Pengayaan wacana itu penting, tetapi, tembok monopoli dan oligarkhi sudah berurat akar, bisakah partnership ” sejati” dalam kondisi itu itu?” Memutus relasi kuasa dalam pengelolaan lingkungan oleh negara bukan persoalan mudah.
Berkutat Pada Isu
Beginilah dilema jika memandang lingkungan hanya sekedar isu perbincangan yang akhirnya terjebak pada masalah ekologis yang tidak substansial. Kita menyukai isu seksi tetapi defisit tindak lanjut. Pembicaraan isu memang penting sebagai dasar kebijakan, tetapi berkutat pada isu saja akan menumpulkan fokus dan liar. Kalau mau dituruti banyak isu lingkungan yang bisa diperdebatkan.
Isu-isu pemerintah seperti implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), dokumen perencanaan lingkungan, dokumen AMDAL, UPL UKL, KLHS, pembiayaan hijau, perdagangan karbon, ekonomi hijau dan lain-lain. Sedangkan isu ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) seperti keadilan lingkungan, ecocide, human security, keadilan iklim, demokrasi lingkungan dan kriminalisasi lingkungan.Beda lagi dengan korporasi yang memiliki isu ekologis seperti produk hijau ramah lingkungan, ekonomi sirkuler, zero waste, efektivitas prinsip pencemar membayar (polluters pay principle) dan lain-lain.
Persoalannya kita membutuhkan aksi-aksi kongkret untuk perubahan tata kelola lingkungan, nah dari mana kita akan menyelesaikan itu? Semua? Jelas tidak mungkin.
Agenda Kebijakan Lingkungan
Isu sebatas apa yang dipersepsi penting dan perlu, maka ia menjadi gagasan yang luas, liar dan tidak pernah usia. Justru, yang dibutuhkan sebenarnya gagasan produktif. Perdebatan sebaiknya fokus pada agenda kebijakan lingkungan sebagai produk terukur. Kebijakan memuat transformasi ide-ide abstrak dan pertimbangan filosofis, aspek sosiologis dan aspek yuridis yang diwujudkan sebagai rencana kerja.
Selesailah isu dalam kebijakan lingkungan negara kita yang sudah banyak ragam. Sebutlah, Undang-undang (UU) No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Rencana Induk Penanggulangan Bencana, UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change. Konsesus tentang SDGs) sudah melekat dalam perencanan nasional kita.
Karena itu level debat seharusnya pada platform perencanaan pasangan capres-cawapres dan agenda kebijakan lingkungan yang dirangkum sebagai berikut. Pertama, Evaluasi Pembangunan Berkelanjutan. Permasalahan pemanasan global ramai dikampanyekan Indonesia di panggung internasional, tetapi minim partisipasi pemerintah dan masyarakat lokal. Kita mendorong partisipasi publik, tetapi advokasi lingkungan sering tabrakan dengan ancaman regulasi lain. Pejuang lingkungan bisa diancam dengan pasal-pasal dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang pencemaran nama baik.
Permasalahan lain, penegakan hukum lingkungan seringkali tumpul jika pelanggar adalah pemilik modal atau kroni penguasa. Kondisi ini diperparah dengan pengabaian inisiatif lokal (local initiative) dan pejuang lokal (local hero). Pada agenda lain, kebijakan yang mengatur pembauran EBT bagus, seperti subsidi mobil listrik, tetapi terbuka eksklusivitas peluang bisnis kelompok-kelompok tertentu. Kita membutuhkan peningkatan kapasitas pemerintah daerah, penegakan hukum dan keadilan iklim.
Kedua, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Marginalisasi Masyarakat Lokal. Bisnis sumber daya alam merupakan hak warga untuk penghidupan layak, namun pengerukan sumber daya alam sering kontraproduktif bagi masyarakat sekitar sumber daya alam itu. Klaim proyek strategis nasional menjadikan negara sebagai penguasa. Konflik Pegunungan Kendeng, Wadas, Rempang dan proyek foodestate menunjukkan, negara masih diuji keseriusannya menjadikan konservasi lingkungan sebagai panglima.
Ketiga, Skema Mitigasi Bencana. Bencana banjir dan tanah longsor masih marak terjadi di semua wilayah. BNPB mencatat 4.940 bencana alam terjadi sepanjang tahun 2023. Ironisnya, hampir pada semua bencana alam, sistem mitigasi bencana tidak berjalan dengan baik. Belum lagi bencana industri seperti ledakan tungku smelter di Morowali yang menyebabkan 13 orang tewas dan 38 korban luka. Kita perlu evaluasi tata kelola lingkungan sebagai penyebab bencana.
Keempat, Kolaborasi Pengetahuan Pengelolaan Lingkungan. Demokratisasi ekologis di era posmodernisme seharusnya menjadikan kolaborasi pengetahuan sebagai keharusan mutlak. Konvensi-konvensi internasional tentang ekologi glonal sudah banyak menyuarakan itu. Tinggal kita dorong kebijakan yang mengolaborasikan hal tersebut. Negara masih “gagap”memasukkan pengetahuan lokal pada konservasi sumber daya alam dan mitigasi bencana.
Kelima, Pemutahiran Agenda Kebijakan Baru. Masalah krisis dan kerusakan lingkungan berdatangan. Praktik alih fungsi lahan, pencemaran, deforestasi dan pengelolan sampah belum selesai, kini bangsa ini dihadapkan pada percepatan agenda transisi energi dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Sayangnya kebijakan lingkungan lokal belum sinergi dengan kebijakan global tersebut, akibatnya pemanfaatan energi bersih belum menjadi tren baru masyarakat. Di sini sebenarnya pengarusutamaan transisi energi belum berjalan seperti yang diharapkan. Akhirnya, semoga agenda kebijakan selalu dijadikan sebagai materi debat ke depan.