Merawat Nilai-nilai Gus Dur

Author : Humas | Tuesday, January 02, 2024 09:03 WIB | Bhirawa -

Oleh :
Baiturrahman
Alumni UMM/Mahasiswa Magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam imajinasi orang-orang Indonesia umumnya, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur adalah sosok ulama kharismatik. Ketokohannya sebagai sosok ulama, bukan hanya karena keturunan dari sang pendiri Nahdhatul Ulama (NU), Hadratus Syekh Kiyai Hasyim Asy’ari, tetapi karena kontribusinya bagi pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini.

Bulan Desember sering disebut-sebut sebagai “Bulan Gus Dur”, terutama oleh para pengagum, pengikut setia Presiden RI ke-4 dan juga ulama asal Jombang itu. Hal ini karena Gus Dur meninggal pada tanggal 30 Desember 2009.

Di bulan ini, biasanya, para pengikut Gus Dur banyak menyelenggarakan berbagai agenda untuk memperingati dan mengenang Gus Dur dalam konteks kekinian, seperti haul, diskusi, dan lain-lain. Indonesia memang dikenal sebagai kawasan yang memiliki segudang ulama terbaik di pelbagai disiplin ilmu keislaman.

Keterhubungan antara kawasan Nusantara dengan Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah, yang menjadi pusat keilmuan Islam, menjadi salah satu alasan kawasan ini banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka (Azra: 2013). Namun, dari pelbagi ulama itu, Gus Dur adalah salah satu tokoh yang patut mendapat apresiasi dan perhatian karena pemikiran dan gagasannya yang banyak mengubah cara pandang umat Islam ke arah kosmopolitan.

Mitsuo Nakamura, antropolog asal Jepang yang pernah meneliti Muhammadiyah dan juga NU misalnya, pernah mengatakan bahwa NU di tangan Gus Dur, tampak lebih reformis dan progresif.

Gus Dur menjadi ikon perubahan NU yang lebih modern. Karena itulah, kelahiran kelompok Post-Tradisionalisme (Postra) di tubuh NU, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan pemikiran Gus Dur yang progresif (Rumadi: 2003). Selain itu, Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, memberi kesan bahwa, Gus Dur adalah sosok pemimpin yang sederhana, bersahaja, percaya diri dan konsisten dalam pemikirannya. Melihat Gus Dur, kata Barton, penting untuk selalu mencoba mencari apa yang tersirat daripada yang tersurat (Barton: 2008).

Menghargai Kemajemukan
Salah satu trobosan penting Gus Dur saat menjadi Presiden RI ke-4 adalah kebebasan beragama yang dijamin oleh pemerintah, baik mayoritas maupun minoritas, pemeluk Kristen hingga agama Konghucu. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2000, Gus Dur berani mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 yang mengekang komunitas Tionghoa untuk mengekspresikan identitas, kebudayaan, dan kepercayaan mereka.

Kebebasan beragama yang dijamin Gus Dur berdasarkan pandangannya tentang “pluralisme agama”. Banyak pihak yang menyebutnya sebagai seorang Pluralis (Barton: 1999, Bahri: 2022), namun banyak pula yang salah memahami pandangannya yang satu ini.

Pluralisme Agama dalam pandangan Gus Dur bukanlah menyamakan pemahaman agama satu dengan yang lain. Bagi Gus Dur, kesadaran tentang perbedaan ajaran teologis di tengah kemajemukan, ditempatkan dalam posisi yang sangat penting. Kata Gus Dur, dengan merujuk Surat al-Hujurat [49]:13, Islam pada dasarnya mengakui perbedaan, baik agama, suku, maupun ras. Sedangkan yang dilarang dalam Islam itu sendiri adalah “perpecahan” (tafarruq).

Karena itu, kaum beriman didorong untuk lebih banyak melakukan kerja sama antara berbagai sistem kepercayaan untuk menangani kehidupan masyarakat secara bersama daripada melakukan perdebatan teologis. Dengan banyak melakukan kerja sama itu, akan timbul nantinya “persamaan” dan sikap saling percaya untuk mencapai kemaslahatan bersama (Wahid: 2006).

Oleh karena itu, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang keharaman Pluralisme tahun 2005, Gus Dur, salah satu tokoh muslim yang berada di garda terdepan menolak fatwa tersebut. Baginya, fatwa tersebut memperlihatkan arogansi dan superioritas sebuah lembaga yang enggan memahami keberadaan agama-agama lain dan berpotensi merusak sendi-sendi keharmonisan.

Ulama Humoris
Di sisi lain, Gus Dur juga dikenal sebagai seorang humoris. Dalam banyak kesempatan, Gus Dur selalu bisa melemparkan joke yang humoris sekaligus kritis. Salah satunya yang jamak diketahui adalah tentang polisi dan institusi Polri. Dalam karya Bahrudin Achmad, “Mati Tertawa Bareng Gus Dur”, Menurut Gus Dur, di negeri ini, hanya ada tiga polisi jujur; patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Tentu ungkapan Gus Dur itu menyiratkan bahwa dari banyaknya polisi, hanya sedikit polisi jujur itu.

Dalam sebuah acara Talk Show di salah satu stasiun televisi, Gus Dur pernah berkelakar terkait kesannya terhadap Presiden Soeharto, kata Gus Dur “Pak Harto itu orang pinter loh, jasanya bagi bangsa ini besar, walaupun dosanya juga besar,” seketika satu studio pun ikut tertawa mendengar perkataan Gus Dur itu.

Agama dan Pancasila
Perlu diakui, isu agama dan Pancasila memang masih menjadi pekerjaan rumah di negeri ini. Tumbuhnya gerakan sparatisme dan radikalisme yang ingin mendirikan negara agama dan kembali mempertanyakan asas dasar negara kita, membuktikan bahwa bangunan ideologi berbangsa dan bernegara kita masih belum benar-benar terserap ke masyarakat akar rumput. Kondisi ini, menimbulkan sikap intoleran, kekerasan, diskriminasi dan disharmoni di tengah kemajemukan masyarakat kita.

Terhadap isu ini, Gus Dur selalu merujuk pada Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin. Dalam Muktamar tersebut, NU menerima pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia) dan menolak Negara Islam (NI). Menurut Gus Dur, mendirikan NI bukanlah suatu kewajiban umat muslim, sebaliknya, umat muslim dituntut untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam tanpa harus bergantung pada negara. Alasan lainnya, tentu berkaitan erat dengan heterogenitas masyarakat Indonesia yang tidak memungkinkan kita untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara dengan satu doktrin agama tertentu.

Karena itu, Pancasila sebagai asas bernegara kita diterima oleh Gus Dur, karena sudah sangat memuat nilai-nilai ajaran agama, khususnya Islam. Bagi Gus Dur, Pancasila memang tidak dapat dibandingkan dengan agama, namun Pancasila mampu mengakomodasi aspirasi berbagai agama dan sistem kepercayaan serta menempatkannya pada posisi yang fungsional.

Dalam situasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang mengalami defisit dan nir keadilan, di mana persekusi, korupsi, dan lemahnya penegakkan hukum, rasanya menghadirkan Gus Dur dalam konteks kekinian menjadi sangat penting. Gus Dur selalu menjadi oase di tengah kegersangan moral, mencari jalan tengah di antara dua kutub yang berlawanan, dan menghadirkan kesejukan di tengah ketidakharmonisan. Oleh karena itu, nilai-nilai perjuangannya perlu kita rawat dan lanjutkan bersama, terutama bagi anak-anak muda yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan.

Harvested from: https://www.harianbhirawa.co.id/merawat-nilai-nilai-gus-dur/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: