Judul Buku : Sosiologi Garam: Deindustrialisasi, Perlawanan, dan Nasib Petani di Madura
Penulis : Iskandar Dzulkarnain
Penerbit : Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Maret 2023
Tebal : 264 Halaman
ISBN : 978-1344-3842
Peresensi : Ahmad Fatoni, Pengajar Universitas Muhammadiyah Kota Malang
Pada masa pra kolonial, garam telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan Nusantara. Selain menjadi identitas kultural, garam bagi penduduk Madura adalah lambang kemakmuran. Terlebih garam Madura memiliki nilai ekonomi tinggi. Dibandingkan garam dari daerah-daerah lain, garam Madura memiliki kualitas yang sangat baik karena konfigurasi Madura yang bertanah kapur serta memiliki kemarau yang lebih lama. Karena itulah Madura seringkali disebut pulau garam.
Tak heran bila kolonial Belanda kemudian milirik Madura. Petakanya, sejak 1882 pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dalam perdagangan garam. Pendapatan yang diperoleh dengan menggunakan sistem monopoli itu cukup tinggi. Penjualan garam bahkan mampu menopang keuangan pemerintah kolonial Belanda.
Buku Sosilogi Garam karya Iskandar Dzulkarnain ini berusaha berusaha membeber lanskap kultur sejarah masyarakat Madura dari sudut pandang pegaraman. Isu utama di dalamnya mengarahkan ke beberapa problem yang menimpa penduduk marginal Sumenep. Huub de Jonge dalam pengantarnya menyebutkan, selama 150 tahun produksi garam di Madura, khususnya Sumenep, selama itu pula para petaninya berjuang melawan “perbudakan” yang dialami mereka dari generasi ke generasi.
Monopoli garam yang dilakukan pengusaha dan penguasa menyebabkan produksi garam masuk dalam penetrasi sistem kapitalisme. Dalam sistem model kapitalisme, status sosial petani garam menjadi kelas dasar dalam hierarki sosial. Para petani garam ditempatkan sebagai tenaga “perbudakan” dalam sirkulasi produksi garam.
Tak pelak, sistem monopoli tersebut turut menggarami kekerasan para petani garam di Madura, kendati resistensi itu selalu dapat dihentikan. Resistensi dilancarkan dalam berbagai reaksi sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Perlawanan yang dilakukan mulai dari menghasilkan produk garam yang berkualitas rendah, sabotase, hingga aksi ngoret.
Selain monopoli garam yang berlaku sejak masa kolonial, masalah lain yang dihadapi petani garam adalah pembebasan lahan garam pasca kemerdekaan. PT Garam sebagai representasi pemerintah kerapkali merampas lahan milik petani garam setempat. Dengan kata lain, resistensi petani garam Madura telah ada sejak masa kolonial hingga berlanjut di masa kemerdekaan
Sarekat Islam, salah satu organisasi berbasis niaga dan berideologi Islam, turut serta melakukan perlawanan atas tindakan pemerintah dalam monopoli perdagangan garam. Organisasi tersebut memiliki kemampuan menggerakkan massa di Madura demi membela kepentingan petani garam. Sarekat Islam menjadi mediator untuk menyampaikan tuntutan rakyat kepada pemerintah.
Setelah kemerdekaan Indonesia, mula-mula sistem monopoli kolonial tetap dilanjutkan. Monopoli pertanian garam tidak terlalu sukses karena kekacauan pasca perang. Lalu, pada perkembangan berikutnya (sekitar dekade 70-an) monopoli perdagangan garam kembali dilakukan pemerintah Orde Baru karena terjadi kelangkaan garam. Demi menjamin ketersediaan garam, maka pemerintah mengambil alih produksi dan penjualan garam di Madura.
Sejak jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) beroperasi, semakin memudahkan pemilik modal lokal dan asing mencaplok lahan pegaraman, terutama di Sumenep. Aktivitas para pemodal menyebabkan penduduk setempat semakin terpinggirkan. Masyarakat Sumenep pun tidak berani bertani atau memelihara sapi disebabkan pagar-pagar tambak udang dan garam milik para pemodal menutup akses jalan sehingga menghalangi kegiatan pertanian dan peternakan.
Adapun industrialisasi garam warisan pemerintah Hindia Belanda yang terus dilestarikan oleh pemerintah Indonesia dari Orde Lama hingga Reformasi melalui kebijakan kontrol produksi dan monopoli itu melahirkan perlawanan panjang dari petani mereka sendiri dalam berbagai cara; dengan kata dan tindakan, secara terbuka maupun diam-diam, individual dan kolektif, lokal dan regional, insidental dan struktural, dengan damai dan jurus kekerasan.
Kendati pada kenyataannya tidak berhasil, perlawanan tersebut berdampak besar terhadap deindustrialisasi yang bukan hanya memerosotkan produksi garam. Madura yang sebelumya menjadi produsen utama kebutuhan garam dunia di awal abad ke-20, kini komoditas garam Madura berada di kaki langit senja. Di sisi lain, formasi sosial masyarakat pegaraman terus-menerus menjadi marginal, miskin, dan rentan karena ketegangan dengan pemerintah yang seolah tak berkesudahan.
Studi dalam buku ini mengandung banyak data baru. Penulis telah memberikan kontribusi sangat penting bagi diskursus tentang perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat pegaraman di Madura. Fakta lainnya bahwa keberadaan jambatan Suramadu kian memudahkan para pemodal dari orang luar Madura untuk menguasai aset pegaraman yang ada di Madura. Mereka bukan membangun Madura, melainkan membangun kekuasaan ekonomi di Madura.