Oleh:
Husamah, M.Pd.
Mahasiswa S3 Pendidikan Biologi UM, Dosen FKIP UMM
Professor Hadi Nur, Ph.D. seorang dosen asal Padang yang telah lama berkecimpung di dunia riset dan pemikiran di Universiti Teknologi Malaysia, dan kini menjadi Profesor tetap di Universitas Negeri Malang, dalam berbagai pertemuan mengungkapkan kegelisahannya terkait kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagai guru besar, sekaligus putra bangsa yang ikut merasa terpanggil untuk memikirkan kondisi bangsa dalam subjek pendidikan tinggi, dalam berbagai kesempatan diskusi klasikal-ringan, beliau selalu bergumam mengenai “mau dibawa kemana pendidikan tinggi kita?” dan “sampai kapan akan begini?”. Pada akhirnya di mata kuliah Filsafat Ilmu, dimana saya berkesempatan belajar bersama Profesor Bidang Kimia itu, tercetus satu wacana besar dari beliau, bahwa “kita butuh practical wisdom, dan itu harus dimulai dari pendidikan tinggi”.
Kegalauan Professor Hadi Nur, Ph.D. sebenarnya pernah disampaikan dalam satu opini beliau yang terbit di Harian Kompas (5/5/2018). Beliau dengan tegas mengatakan bahwa “mungkin sudah saatnya kita melihat kembali, merefleksikan diri dan bertanya, apakah pendidikan tinggi perlu dirasionalisasikan? Kita perlu melihat persoalan ini dengan kesadaran yang tidak saja melibatkan nalar, tetapi juga kesadaran batin. Bebas dari sistem kapitalisme pengetahuan, sosial, ekonomi, dan politik yang membentuk dunia saat ini”.
Kalau kita cermati, kata kunci yang dimunculkan Professor Hadi Nur, Ph.D. sangat dalam dan membutuhkan kejernihan pikiran untuk menangkapnya. Kondisi pendidikan tinggi di Indonesia perlu dilihat dari “kesadaran batin” atau “ketulusan nurani”. Tentu hal ini sangat menohok bagi orang-orang yang selama ini cenderung bangga dengan capaian prestasi angka-statistik dan label reputasi (baik lokal dan internasional) yang kemudian digunakan untuk mengklaim dan memproklamirkan diri sebagai “kampus terkemuka” atau “kampus terbaik”.
Practical Wisdom
“For all the virtues will be present when the one virtue, practical wisdom, is present” begitulah Aristoteles pernah berkata. Dalam terjemahan bebasnya, saya dapat mengatakan bahwa “Semua kebajikan akan hadir ketika satu kebajikan, yaitu kebijaksanaan praktis/practical wisdom, hadir”.
Salah satu artikel yang menarik, dan mengupas terkait pandangan Aristoteles tentang practical wisdom ditulis oleh Brett and McKay (2020) di website The Art of Manliness. Menurut mereka, practical wisdom adalah sifat sejati yang terikat dengan tindakan, disertai dengan akal, dan berkaitan dengan hal-hal yang baik dan buruk bagi seorang manusia. Orang yang memiliki practical wisdom akan terampil dalam mengarahkan, sesuai dengan perhitungan, pada apa yang terbaik bagi manusia dalam hal-hal yang dapat dicapai melalui tindakan.
Sementara itu, Peter Massingham (Palgrave Communications; Volume 5, Article Number: 123: 2019) meyakini bahwa Aristoteles percaya bahwa kebijaksanaan praktis sebagai kebajikan intelektual tertinggi. Ada dua hal yang perlu dimiliki, yaitu pengetahuan teknis episteme dan kebijaksanaan techne. Orang-orang dengan kebijaksanaan membuat keputusan yang lebih baik. Sementara pengetahuan teknis episteme dapat menangani tugas-tugas yang rumit, kebijaksanaan techne memungkinkan orang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang benar-benar kompleks. Techne memberikan penilaian pribadi yang memungkinkan seseorang untuk menilai tindakan mereka dari perspektif eksternal dan internal. Mengetahui bahwa orang lain dan individu itu sendiri senang dengan kualitas pekerjaan mereka menciptakan moralitas yang memungkinkan ketenangan batin dan kepuasan pribadi yang mengarah ke eudaimonia (perasaan bahagia tentang hidup).
Aristoteles menyebut practical wisdom sebagai phronesis. Aristoteles percaya bahwa baik techne dan practical wisdom (phronesis) adalah jenis pengetahuan praktis, berbeda dengan pengetahuan ilmiah (episteme) yang bersifat teoritis. Perbedaan antara techne dan phronesis adalah aksi dan produksi. Techne digunakan untuk menghasilkan sesuatu dan objek yang dihasilkan adalah tujuan itu sendiri. Phronesis digunakan untuk bertindak. Phronesis memiliki ‘kebajikan intelektual dan kebajikan etis’. Bagi Aristoteles, pengetahuan praktis dan kebajikan moral berjalan bersama: tidak mungkin menjadi bijaksana secara praktis tanpa menjadi baik sekaligus.
Tugas Perguruan Tinggi
Maria Jakubik, seorang ilmuwan di Ronin Istitute New Jersey membagikan sebuah tantangan dan harapannya untuk perguruan tinggi dalam upaya membumikan practical wisdom dalam konteks kekinian. Menurutnya, pendidikan tidak terbayangkan tanpa kebajikan manusia seperti kebijaksanaan (prudence), keberanian (fortitude), moderasi (temperance), dan keadilan (liberty). Kebijaksanaan sebagai kebajikan utama bertujuan untuk mencapai keunggulan manusia dan kebaikan bersama, tidak hanya untuk individu tetapi untuk seluruh umat manusia.
Dalam artikelnya berjudul “Educating for the Future – Cultivating Practical Wisdom in Education”, ia berusaha menjawab pertanyaan: “Bagaimana pendidikan dapat menumbuhkan practical wisdom dalam berpikir, berperasaan, dan dalam tindakan generasi mendatang?” Dengan kerangka ekosistem praktik, ia akan menyajikan dua model: satu yang menggabungkan fitur kunci dari practical wisdom, dan satu lagi yang menunjukkan bagaimana mereka dapat memanifestasikan dirinya dalam pendidikan. Makalah ini menyerukan peningkatan tanggung jawab pendidik dan lembaga pendidikan dalam meningkatkan kapasitas generasi mendatang untuk tindakan yang dipandu oleh practical wisdom.
Tentu, pendidikan tinggi sebagai kawah candradimuka, alih-alih hanya sebagai menara gading, perlu bertransformasi menjadi menara air untuk mengintegrasikan dan mengalirkan nilai-nilai moral, keputusan etis, dan altruisme ke dalam pendidikan secara praktis. Alih-alih hanya pamer ranking perguruan tinggi, pamer jumlah publikasi, dan berbagai “kesombongan” akademik lainnya, pendidikan tinggi seharusnya memamerkan kebijaksanaan hidup yang hadir dalam praktik sehari-hari dan menjadi nafas penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa dewasa ini, pendidikan tinggi kita (mulai dari level pengelola hingga mahasiswa) telah digerogoti dengan sikap apatisme yang cenderung signifikan. Saling berbangga dengan capaian kampus, dan abai dengan kondisi empiris bangsa. Banyak ilmuwan dan guru besar (yang juga diikuti oleh mahasiswanya) hanya ramai mengejar target publikasi tetapi sepi dan berdiam diri dalam menyikapi aneka permasalahan bangsa yang seharusnya membutuhkan pemikiran praktis dan tindakan nyata mereka. Tentu, semua ini harus diakhiri dan pendidikan tinggi kita tidak boleh selamanya di zona nyaman nan membahayakan ini. Sudah saatnya practical wisdom menjadi gerak dan nafas pendidikan tinggi kita secara nyata. Wallahu a’lam bis showab.
———– *** ————