Refleksi Hari Anak Sedunia:
Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar dan Ketua Prodi Kesejahteraan Sosial,
FISIP-Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagaimana diketahui bahwa setiap tanggal 20 November, diperingati sebagai Hari Anak Sedunia (Internasional). Biasanya peringatan hari anak, baik hari anak nasional maupun maupun hari anak internasional, ditandai dengan serangkaian acara seremonial yang penuh kemeriahan dan kegembiriaan, Namun demikian, persoalannya bukan pada seremonialnya akan tetapi yang terpenting adalah substansinya. Substansi dari peringatan hari anak adalah upaya menjaga agar dalam diri kita selalu tertanam kesadaran akan pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
Secara formal batasan usia anak di Indonesia memang beragam. Misalnya, menurut UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin, sementara menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut UU Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan International Labour Organization (ILO) Convention No. 138 terkait Konvensi ILO mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja menyebutkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun. Dengan demikian jika mengacu kepada ILO maka batasan usia anak itu adalah sampai usia 15 tahun.
Dalam perspektif psikologi perkembangan, jika dilihat dari periode perkembangan manusia maka kategori batasan usia anak itu hingga usia 11 tahun. Santrock (2012), misalnya, dalam bukunya Life-Span Development menyebutkan bahwa periode perkembangan manusia meliputi periode prakelahiran (masa pembuahan hingga kelahiran), periode bayi (masa kelahiran hingga usia 18-24 bulan), periode kanak-kanak awal (masa usia 2-5 tahun), periode kanak-kanak pertengahan (masa usia 6-11 tahun), periode remaja (masa usia 12 hingga 21 tahun), periode dewasa awal (masa usia 20-30 tahun), periode dewasa menengah (masa usia 40-50 tahun), dan periode dewasa akhir (masa 60-70 tahun hingga kematian).
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Harus dipastikan bahwa orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah (negara) menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak. Khusus bagi orang tua, menurut UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Dalam aspek pendidikan, anak juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Pendidikan anak diarahkan pada: pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri; persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Selain itu, anak juga dipastikan untuk mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan. Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Anak merupakan salah satu kategori kelompok rawan dari ancaman dan tindakan kekerasan. Hak-hak anak dan perlindungan anak atas tindakan kekerasan mulai terabaikan.
Berbagai problem social yang muncul pada anak, baik di era pandemic dan era transisi pasca pandemic Covid-19, misalnya dalam aspek pendidikan menunjukkan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang baik dan layak mulai terancam. Proses Learning From Home (Belajar di Rumah) dan belajar melalu Daring (online) tidak didukung oleh kesiapan orang tua, keluarga, dan guru (sekolah), baik dalam penyiapan dan penguasaan materi ajar maupun teknologi pendukung (handphone, jaringan, dan sebagainya). Kegiatan belajar di rumah dan daring juga menyebabkan munculnya gangguan-gangguan psikologis pada anak seperti stress, gelisah, kebosanan, murung, mudah marah, dan sebagainya. Kondisi seperti ini sudah termasuk dalam kategori tindakan kekerasan psikis kepada anak.
Anak juga rawan dari ancaman tindakan kekerasan oleh orang tua di lingkungan keluarga. Seperti diketahui salah satu dampak sosial pandemic dan pasca pandemic Covid-19 adalah masih terbatasnya aktivitas ekonomi keluarga, bahkan berujung pada hilangnya pekerjaan orang tua (suami), baik karena PHK maupun karena hilangnya kesempatan untuk melakukan aktivitas ekonomi lainnya. Keadaan seperti ini menyebabkan munculnya stress pada orang tua, khususnya suami (ayah). Laporan Kementerian PPPA menyatakan bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan anak-anak mengalami kekerasan dan eksploitasi dari orangtua yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini. Kondisi saat ini dimana Indonesia sudah mulai masuk masa tarnsisi pasca Pandemik Covid-19 juga masih menunjukkan fenomena yang sama dengan era pandemic Covid-19.
Child Fund Alliance (CFA) menyusun indeks inklusi anak dan perempuan pada negara-negara di dunia pada tahun 2022, kemudian menyusun rankin dan kelompok kategorinya. Berdasarkan indeks inklusi terhadap anak dan perempuan tersebut, pada tahun 2022 Indonesia menempati urutan ke 81 diantara negara-negara di dunia dengan skor nilai indeks inklusi sebesar 73,0 dengan kategori Sufficient Inclusion (Cukup Iklusi). Di level ASEAN ranking inklusi anak dan perempuan Indoneisa masih dibawah Singapore (87,3), Brunei Darussalam (77,8), Malaysia (77,7), Thailand (77,3), Philippines (74,4), dan Vietnam (73,7). Mari kita lindungi dan penuhi hak anak.