Malang - FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Hafid Adim Pradana menyebut jargon FIFA hanya omong kosong.
Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 merupakan buntut dari penolakan banyak pihak terhadap Timnas Israel sebagai salah satu peserta. Dosen yang akrab disapa Hafid mempertanyakan mengapa penolakan tersebut tidak dilakukan sejak Timnas Israel dinyatakan lolos kualifikasi.
Hafid mengatakan, batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 memberikan kerugian di berbagai sektor. Secara diplomatik, Indonesia akan memiliki citra yang kurang baik di mata internasional.
"Karena nasi sudah menjadi bubur, maka kita harus tetap menghargai dan menghormati keputusan FIFA. Sayangnya, Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20," ungkap Hafid kepada wartawan, Sabtu (1/4/2023).
Baca juga:Gagal Jadi Host Piala Dunia U-20, Pakar HI Unair: Tragedi Besar bagi Indonesia |
Lebih jauh Hafid menjelaskan, sektor ekonomi juga mengalami kerugian atas batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Apalagi dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit. Baik untuk membangun fasilitas baru maupun memperbaiki infrastruktur yang ada.
"Satu hal penting yang menjadi kerugian terbesar adalah gagalnya Tim Nasional Indonesia U-20 untuk ikut serta dalam ajang sepakbola bergengsi tersebut," jelasnya.
Sebab, kesempatan Timnas Indonesia untuk tampil di Piala Dunia itu, didapat berkat terpilih menjadi tuan rumah.
Hafid juga menggarisbawahi pernyataan resmi FIFA di paragraf kedua. Yakni pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah secara tidak langsung mengarah pada kejadian kelam sepakbola Indonesia yang terjadi pada Oktober tahun lalu.
"Saya rasa, meskipun FIFA tidak pernah memberikan statement ke publik. Pastinya FIFA tetap mengamati perkembangan hukum dan penanganan kejadian Kanjuruhan. Menurut saya bisa dikatakan negara ini tidak begitu serius menangani persoalan terkait," terangnya.
Hal lain yang menjadi pembahasan adalah adanya penerapan standar ganda yang dilakukan FIFA. Menurut Hafid, itu sangat jelas terlihat pada Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar. Di mana pada saat itu Rusia melakukan invasi ke Ukraina, sehingga menjadi polemik dan juga isu global.
"Saat itu FIFA memberikan sanksi kepada federasi Rusia, dengan mendiskualifikasi Timnas Rusia dan tidak memperbolehkan bendera, nama, hingga atribut Rusia terpajang di gelaran itu," terang Hafid.
Baca juga:Ketakutan Erick Thohir Kala Sanksi FIFA untuk Indonesia Sudah di Depan Mata |
Hafid menambahkan, jika FIFA bisa bersikap tegas pada Rusia, seharusnya hal tersebut juga diberlakukan kepada Israel karena telah memulai konflik dengan Palestina. Namun FIFA tidak bersikap tegas. Alasannya karena asosiasi FIFA dibentuk dan didirikan oleh negara-negara barat.
"Jadi jargon FIFA yang mengatakan sepakbola harus dipisahkan dengan politik itu hanya omong kosong," terangnya.
Terakhir, Hafid menyampaikan bahwa Indonesia harus mengambil pelajaran dari pembatalan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Sudah saatnya pemerintah dan PSSI memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas sepakbola yang ada.
"Jangan jadikan sepakbola sebagai ajang berpolitik. Adapun jika nanti kembali ingin menjadi tuan rumah event olahraga besar, ada baiknya untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mencapai pemahaman yang sama. Sehingga peristiwa ini tidak terulang," pungkasnya.
\