Keseluruhan makalah mengulas tema-tema seputar dinamika pemikiran dan pengembangan studi Islam dan bahasa Arab di Asia Tenggara.
Selain para peneliti, hadir Duta Besar (Dubes) Arab Saudi untuk Indonesia Osamah Mohammed Alshuibi dan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama RI Prof Dr Amsal Bakhtiar MA, Dr Abdul Hafis Hiley (Lukmanulhakeem Foundation, Yala, Thailand), Dr Asraf Israqi Jamil (University of Malaya), serta Prof Dr Tobroni MSi (Magister Agama Islam UMM).
Penandatanganan dua memorandum of understanding (MoU) mewarnai kegiatan ini, yaitu antara UMM dan Universitas Malaya, serta antara Prodi Bahasa FAI UMM dan Prodi Bahasa Arab Universitas Jambi. Diharapkan, dua MoU tersebut dapat mengembangkan studi Islam dan bahasa Arab pada masing-masing universitas.
Osamah memaparkan materi 'Mind Mapping Pendidikan Islam di Asia Tenggara Selama Era Kontemporer'.
Disampaikan Osamah, Arab Saudi berperan besar terhadap penyebaran pengajaran bahasa Arab di lingkup Asia Tenggara, khususnya Indonesia. "Upaya yang dilakukan salah satunya dengan mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA)," papar Osamah.
Meski awalnya LIPIA hanya menyelenggarakan program pendidikan bahasa Arab, sejalan dengan perkembangannya, LIPIA akhirnya menjadi lembaga yang berkembang pesat.
"Karena pada dasarnya ilmu bahasa tidak bisa lepas dari budaya yang membentuknya, dan pembentukan budaya itulah yang dilakukan LIPIA," kata Osamah.
Sementara itu, Amsal Bakhtiar menyampaikan ada dua problem utama penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, masih kurangnya angka partisipasi kasar (APK) lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Dalam catatan Amsal, kurang dari 32 persen APK SLTA yang mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
"Sekitar 10 persen dari yang 32 itu ada di perguruan tinggi agama Islam. Artinya, baru sekitar 720 ribu jumlah mahasiswa perguruan tinggi keagamaan Islam," ujar Amsal.
Anak-anak usia kuliah, yakni 18-23 tahun, berjumlah sekitar 21 juta orang.
"Tapi hanya 7 juta yang mampu melanjutkan ke bangku kuliah. Dan hanya 700 ribu yang memilih perguruan tinggi Islam. Selebihnya memutuskan melanjutkan ke perguruan tinggi di bawah naungan Kemenristekdikti atau lembaga dan kementerian lain. Selebihnya, 68 persen, memilih ke dunia kerja," bebernya.
Problem kedua, lanjut Amsal, masih rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi Islam, sehingga daya saing lulusan masih sangat bervariasi.
"Berdasarkan data Dikti, jumlah program studi agama Islam di Indonesia sebanyak 3.600," ucapnya.
"Meski jumlahnya banyak, kualitasnya amat jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Gap ini yang kemudian menjadi perhatian kita. Tantangan kedua ini jauh lebih berat dibanding tantangan pertama," sambungnya.
Atas dasar tersebut, lanjut Amsal, Dikti mencanangkan program Rukun Dikti. Yakni, pertama, meningkatkan kualitas akademis, yaitu meningkatkan kemampuan para pengajar.
"Karena ustaz atau pengajar itu lebih penting daripada metode. Salah satu program yang digiatkan Dikti yakni dengan menciptakan 5.000 doktor," ujarnya.
Langkah kedua, menurut Amsal, dengan meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Langkah ketiga adalah meningkatkan riset dan publikasi.
"Langkah keempat yakni penggunaan pada pendanaan. Muhammadiyah menjadi satu-satunya andalan kita dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Terakhir, yang harus jadi perhatian, yakni infrastruktur," terangnya.
(rvk/nkn)