Solusi Berantas 'Ngemis Online': Atasi Akar Kemiskinan, Stop Beri Gift

Author : Humas | Wednesday, February 01, 2023 14:30 WIB | DetikEdu -

Viral TikTok

Foto: Tangkapan layar viral TikTok

Jakarta - Konten 'ngemis online' mandi lumpur yang beberapa waktu lalu viral di TikTok sudah diberantas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Lalu, apakah solusi sebenarnya dari 'ngemis online' ini?

Dua pakar dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mencoba menguraikan solusinya.

Kepala Prodi Sosiologi UMM Luluk Dwi Kumalasari, SSos, MSi menjelaskan latar belakang dan faktor munculnya 'ngemis online' dalam laman UMM dilansir Jumat (27/1/2023) juga dosen Psikologi Unesa, Riza Noviana Khoirunnisa, SPsi, MSi dilansir laman Unesa, Senin (31/1/2023) seperti dirangkum detikEdu, Rabu (1/2/2023), sebagai berikut:

Latar Belakang & Faktor Munculnya 'Ngemis Online'

1. Kemajuan Teknologi

Luluk menjelaskan bahwa yang melatarbelakangi maraknya mengemis online adalah kemajuan teknologi. Terlebih media sosial memberi kebebasan dan kemudahan kepada manusia untuk mengekspresikan dirinya untuk tujuan apapun, termasuk mencari uang.

2. Tuntutan Ekonomi dan Tergiur Cuan

Luluk menguraikan kemiskinan dan tuntutan yang semakin tinggi berakibat mendorong seseorang untuk mencari cara instan mendapatkan keuntungan.

"Ngemis online adalah solusi yang tepat menurut mereka karena mendapatkan uang yang berasal dari gift pemberian netizen," tuturnya.

Senada dengan Luluk, Riza mengungkapkan faktor terbesar jelas karena faktor himpitan ekonomi yang memotivasi para kreator konten untuk melakukan aksi tersebut. Riza mengungkapkan pengguna Tiktok yang mencapai 1,4 miliar orang (data April 2022) dan Indonesia sebagai pengguna terbanyak kedua di dunia menjadi lahan basah bagi pencari cuan di dunia maya.

Aktivitas siaran langsung di Tiktok memang yang paling diburu pembuat konten karena bisa mendapatkan gift dari audiens. Saat siaran langsung, audiens memberikan gift dengan jumlah tertentu. Nah, jenis gift ada macam-macam. Ada yang mawar senilai 1 koin, panda senilai 5 koin, lolipop 10 koin, cermin 30 koin, hati 100 koin, nasi tumpeng 300 koin, mutiara 800 koin, dan bianglala 3.000 koin.

Selain itu, juga ada gift bergambar TikTok Universe dengan nilai 34.999 koin. Lalu ada gambar singa bernilai 29.999 koin, roket 20,000 koin, dan planet 15.000 koin. Selain itu masih banyak jenis gift lainnya. Diperkirakan, setiap 13 koin senilai sekitar Rp3.200. Jika koin itu terkumpul hingga 17.500 misalnya, jika dirupiahkan bisa mencapai Rp 4.121.000. Ini nanti akan dipotong biaya admin saat pencairan.

3. Kesempatan

Luluk juga menambahkan karena adanya kesempatan, tidak adanya batasan tegas dari pihak media sosial dalam memilih dan memilah konten mana yang boleh dipublikasi dan tidak.

4. Ada 'Pasar' dan Budaya Menolong

Konten 'ngemis online' ini juga bisa berkembang tidak lepas dari kemurahan hati para audiens yang memberikan gift kepada penyiar konten. Di sini ada semacam transaksi antara pembuat konten dengan 'penikmat' konten tersebut. Karena pembuat konten ini mendapat reward dari audiens, sehingga mereka termotivasi untuk terus memproduksi konten tersebut. Ini bisa mengarah pada kecanduan mendapatkan reward satu sisi dan menikmati konten di sisi lainnya.

"Menariknya mengapa audiens memberikan reward untuk konten semacam ini," tukas Riza.

Ternyata ini bisa karena faktor kasihan melihat lansia yang mandi lumpur. Bisa juga karena penyalahgunaan simpati. Dengan kata lain, orang yang mampu merasa harus melindungi yang kurang mampu lewat pemberian gift dan sebagainya.

Selain itu, juga karena waktu luang pengguna Tiktok yang secara tidak langsung membawanya menjelajahi berbagi konten termasuk mandi lumpur. "Mungkin awalnya penasaran, karena sudah melihat lalu kasihan dan memberi reward berupa gift. Besok lagi kalau nganggur dan masuk di medsos kembali lagi ke konten-konten itu lagi," beber Riza.

Luluk juga menambahkan faktor budaya masyarakat Indonesia yang suka menolong dan punya belas kasihan tinggi. "Memang tidak salah namun seringkali masih bisa dimainkan oleh kelompok tertentu," jelas Luluk.

Luluk memaparkan data bahwa Indonesia pada 21 Oktober 2022 lalu didaulat sebagai negara paling dermawan nomor pertama di dunia dengan jumlah persentase 68 persen oleh World Giving Index (WGI) 2022. Adanya label tersebut menjadi faktor pendukung lain terjadinya fenomena ngemis online.

"Siapa yang tidak tahu keramahan, kepedulian dan jiwa sosial orang Indonesia? Bahkan kita tidak asing dengan salah satu desa yang dikenal dengan desa pengemis dan hidup masyarakatnya makmur. Tapi kemakmuran mereka tidak menghentikan aksi. Nah, harusnya masyarakat Indonesia bisa lebih bijak, berpikir rasional dan bertindak dengan tegas," tegas Luluk.

5. Persepsi Masyarakat soal Hiburan Bergeser

Luluk menambahkan faktor persepsi masyarakat tentang konten hiburan yang sudah bergeser. Dulu, definisi hiburan adalah menyenangkan dan tidak menyusahkan orang lain. Namun, sekarang konten menyusahkan orang lain bisa dianggap sebagai hiburan.

6. Belum Ada Perlindungan Kelompok Rentan

Menurut Luluk, belum adanya perlindungan terhadap kelompok rentan sehingga kelompok rentan sering menjadi sasaran eksploitasi.

"Semakin lunturnya nilai, etika, adat ketimuran terutama di kalangan generasi mudanya juga menjadi latar belakang yang kuat," tutur Luluk.

7. Mentalitas

Riza juga mengungkapkan faktor mentalitas masyarakat yang senang mencari cuan secara instan juga tidak lepas dari munculnya konten eksploitatif baik itu terhadap anak maupun lansia. Menurutnya, persoalan mental ini memang sangat krusial dan sulit diubah karena berkaitan dengan kemalasan, persaingan kerja, keterampilan dan sebagainya.

"Mereka ini kan tergiur dengan cuan dan gak mau susah-susah akhirnya bikin lan konten yang begitu dan itu terbukti bisa mendapatkan hasil," ujarnya.

Solusi Berantas 'Ngemis Online'

Riza mengapresiasi gerak cepat pemerintah mengeluarkan edaran dan aparat yang menelusuri lokasi pembuatan konten mandi lumpur tersebut. Menurutnya, peran pemerintah dan semua pihak terkait tidak hanya sampai pada mengeluarkan 'ultimatum' saja, tetapi juga harus sampai menuntaskan faktor-faktor penyebab lainnya seperti angka kemiskinan, mentalitas dan sebagainya.

Selama akar persoalan tidak teratasi, 'ngemis' dalam berbagai bentuk lain akan terus bermunculan. Selain itu, para penikmat konten jangan memberikan apresiasi, atensi atau membiarkan para pembuat konten yang mengarah pada kegiatan eksploitasi atau ngemis online. Kalau menemukan konten semacam itu bisa dilaporkan atau setidaknya jangan didukung.

Senada dengan Riza, Luluk menegaskan salah satu solusinya, stop memberi gift pada konten ngemis online seperti itu.

"Ngemis online itu kan dapat keuntungannya dari gift. Maka kalau kontennya tidak mendidik, kita tidak perlu memberi gift kepada mereka. Kalau kita tahu ada konten yang sifatnya eksploitasi, segera laporkan saja ke pihak yang berwenang," tegasnya.


(nwk/nah)

Harvested from: https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6545551/solusi-berantas-ngemis-online-atasi-akar-kemiskinan-stop-beri-gift#aevp
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: