Menko PMK Muhadjir Effendy di tengah acara Haul Kiai Ageng Basyariyah di Mojokerto (Foto: Muti/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - NU banget. Kalimat singkat yang cukup menggambarkan kehadiran Muhadjir Effendy di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Kutorejo, Mojokerto, Jawa Timur pada Sabtu (5/7) malam.
Muhadjir datang dengan setelan peci hitam, batik khas Mojokerto, dan serban hijau yang dikalungkan ke leher. Khas gus-gus NU (Nahdlatul Ulama) pada umumnya.
"Supaya pertemuan ini berkah dan mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW, marilah kita membaca selawat," kata Muhadjir saat menutup sambutannya dalam acara bertajuk `Haul Akbar dan Doa Bersama untuk Nusantara`.
Sebuah kalimat penutup yang unik. Sebab, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) ini merupakan salah satu representasi Muhammadiyah di kabinet pemerintahan Joko Widodo-Ma`ruf Amin. Sedangkan senandung selawat dan Muhammadiyah umumnya bukan dua hal yang identik.
Baca juga :
Keganjilan ini dijawab tuntas oleh Muhadjir. Kepada ratusan jemaah yang hadir, tokoh pendidikan Muhammadiyah ini bercerita bahwa dalam dirinya mengalir darah Raden Mas Bagus Harun atau yang lebih dikenal dengan Kiai Ageng Basyariyah atau Syekh Sewulan.
"(Itu) eyang saya," terang Muhadjir kepada Jurnas.com.
"Saya termasuk keturunan yang ke-8 dari Kiai Ageng Basyariyah," imbuh dia.
Kiai Ageng Basyariah dikenal sebagai salah satu sosok sentral dalam penyebaran agama Islam di kawasan Madiun, Jawa Timur. Dia merupakan murid kesayangan Kiai Ageng Mohammad Hasan Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo pada medio 1700-an.
Alkisah, pada 1741 M terjadi pemberontakan Sunan Kuning di Keraton Kartasura yang dipimpin Raja Pakubuwono II. Raja yang terdesak melarikan diri ke Ponorogo, untuk meminta pertolongan dari Kiai Ageng Mohammad Hasan Besari. Diutuslah Kiai Ageng Basyariyah supaya membantu Pakubuwono II.
Kehebatan Kiai Ageng Basyariyah sukses meredakan konflik sekaligus mengembalikan kejayaan Keraton Kartasura. Raja Pakubuwono lalu memberikannya pangkat adipati, namun, hadiah ini ditolak secara halus, dan lebih memilih kembali ke pesantren Kiai Ageng Mohammad Hasan Besari.
Sebelum pulang dari keraton, raja menganugerahi Kiai Ageng Basyariyah sebuah payung tunggul nogo. Ini bukan payung biasa. Dengan payung ini, keraton secara tidak langsung memberikan tanah perdikan atau tanah bebas pajak kepada Kiai Ageng Basyariyah sebagai hadiah.
Sesampainya di Pondok Pesantren Tegalsari, Kiai Ageng Basyariyah menyerahkan payung itu kepada gurunya. Pemberian ini ditolak karena Kiai Ageng Mohammad Hasan Besari tidak merasa berhak. Akhirnya, payung itu dibuang ke sungai.
Kemudian, Kiai Ageng Basyariyah berkeinginan mendirikan sebuah pondok pesantren untuk mengamalkan ilmu agamanya. Salah satu versi sejarah menceritakan, sang guru memberikan izin, dengan syarat dia menemukan kembali payung yang telah dibuang waktu itu.
Singkat cerita, Kiai Ageng Basyariyah mendapati payung itu di wilayah utara. Dengan izin Raja Pakubuwono II, dia diizinkan menetap di daerah tersebut dan diberi nama Desa Perdikan Sewulan pada 1742. Inilah awal mula Kiai Ageng Basyariyah mendapatkan sebutan Syekh Sewulan.
"Syekh Sewulan kemudian di situ membangun pondok pesantren," kata Muhadjir.
Versi lain cerita ini diungkapkan Muhadjir. Istilah sewulan bermakna satu bulan. Konon, di pondok pesantren para pejuang bertahan selama satu bulan ketika menghadapi gempuran di pasukan Belanda.
"Dulu pasukan Diponegoro setelah Pangeran Diponegoro mengalami kekalahan, mereka menyebar dan salah satunya di Syekh Sewulan," imbuh dia.
Dari garis keturunan ini, tak pelak Muhadjir bersentuhan dengan tradisi-tradisi NU. Sejak kecil, ayahnya selalu mengajak Muhadjir menyambung tali silaturahmi dengan garis keluarga Kiai Ageng Basyariyah.
"Saya biasa diajak ziarah makam pada Bulan Suro atau kita sebut juga suran. Juga, selalu ziarah ke makam Kiai Ageng Basyariyah," ungkap dia.
Begitu pula dengan kegiatan haul ini. Menurut Muhadjir, selain bagian dari semangat silaturahmi, juga untuk mengingatkan masyarakat secara umum dan anak keturunannya secara khusus, mengenai misi perjuangan yang pernah diemban oleh para leluhur.
"Tujuan kita mengingat kembali ada di garis keturunan mujahid yang jadi cikal bakal berkembangnya agama Islam di Nusantara. Mereka menyatukan bangsa kita menjadi negara yang besar," tutup Muhadjir.