Jangan Bilang Tidak Ada Dalil, tapi Katakan Kami Belum Menemukan Dalil

Author : Humas | Monday, February 10, 2025 09:25 WIB | KlikMu.co -

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Jangan bilang tidak ada dalil. Tidak dicontohkan. Tidak ada uswah dari Nabi ﷺ. Tapi katakan: Kami belum menemukan dalil. Dalil itu belum sampai kepada kami. Atau kami menggunakan dalil yang sama tapi pemahaman kami berbeda.

Ada ribuan ikhtilaf. Imam Syafi’i dan Imam Malik, gurunya, berbeda sebanyak 5.479 ikhtilaf. Tapi keduanya tetap saling menghormati meski banyak berbeda.

Pada suatu majelis, Imam Ahmad ditanya: Apakah menyela jari tangan dan kaki dalam wudhu itu sunnah? Beliau menjawab: Bukan.

Sampai kemudian salah seorang santrinya mendekat dan berkata dengan penuh takzim:

 

“Wahai Guru, sesungguhnya aku telah mendengar berita (kabar/hadits) bahwa menyela jari tangan dan kaki pada saat wudhu adalah sunnah.”

Pada majelis berikutnya, Imam Ahmad berkata bahwa menyela jari tangan dan kaki pada saat wudhu adalah sunnah. Sungguh mulia dan rendah hati.

Para ulama, jika tidak memahami suatu perkara, dengan rendah hati berkata: saya tidak tahu atau diam, sambil terus belajar dan menemukan. Bukan dengan angkuh berkata: itu tidak ada dalil padahal belum ditemukan. Tidak ada contoh dari Nabi ﷺ padahal belum dipahamkan. Atau karena berbeda dalam memahami sebuah hujjah, baik karena latar belakang keilmuan, keterbatasan informasi, atau sebab lainnya, lantas berkata: itu tidak ada dalil, tidak ada contoh dari Nabi ﷺ, dan sebagainya.

Sungguh kurang terpuji. Bukankah Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

 

“إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي”(Jika ada hadits yang shahih, itulah pendapatku!)

Tentang dzikir keras, misalnya.

Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ الصَّلَاةِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ

“Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi ﷺ karena suara dzikir yang keras.”

Mungkin kita telah membacanya dengan seksama, tapi bisa jadi pemahamannya berbeda sehingga memilih diam dan berdzikir sendiri-sendiri setelah shalat.

Pun kontroversi tentang sampai atau tidaknya hadiah pahala juga tak kalah keras. Berbagai hujjah dan dalil dikemukakan. Khilaf ini telah berlangsung ribuan tahun silam, selama puluhan abad tanpa ada kompromi. Terus berlangsung hingga hari ini.

Yang umum dipakai adalah: setiap orang mendapatkan pahala dari yang diusahakan. Pahala tak bisa dihadiahkan. Pahala bacaan Al-Qur’an tak bisa dipindahkan. Pahala sedekah tak bisa diwakilkan.

Bukankah anak saleh yang mendoakan, pahala bersedekah yang dihadiahkan, Al-Qur’an yang diwakafkan atas namanya, tetangga baik yang mendoakan, kerabat dekat yang mengistighfarkan, masjid yang dibangunnya—semua itu adalah hasil usahanya sendiri ketika ia masih hidup?

Maka, setelah ia mati, dibalaskan dengan kebaikan yang sama atau lebih. Ia didoakan sebab ketika hidup suka mendoakan.

Sampai kemudian ada informasi mutawatir yang mendalilkan:

Bahwasanya Sa’ad bin ‘Ubadah –saudara Bani Sa’idah– ditinggal mati oleh ibunya, sedangkan ia tidak berada bersamanya. Maka ia bertanya:

“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan aku sedang tidak bersamanya. Apakah bermanfaat baginya apabila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?”

Beliau menjawab:

“نَعَمْ”“Ya.”

Dia berkata:

“فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الَّذِي بِالْمِخْرَافِ صَدَقَةٌ عَنْهَا”

“Sesungguhnya aku menjadikan engkau saksi bahwa kebunku yang berbuah itu menjadi sedekah atas nama ibuku.”

Aku sedekahkan kebunku. Pahalanya aku hadiahkan buat ibuku…

وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

Nurbani Yusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Harvested from: https://klikmu.co/jangan-bilang-tidak-ada-dalil-tapi-katakan-kami-belum-menemukan-dalil/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: