KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim meminta kepada sekolah untuk menghapus tes baca, tulis dan hitung atau calistung.
Tentu, calistung dihapus dari proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SD. Sehingga tidak membebani anak maupun orangtua/wali yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah dasar.
Karena tahun ajaran baru sebentar lagi tiba, tentu proses PPDB juga akan digelar untuk jenjang SD.
Terkait hal itu, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dyah Worowirastri Ekowati S.Pd., M.Pd., memberikan tanggapan.
Ia menilai, penghapusan calistung pada calon siswa SD kelas 1 merupakan hal yang baik. Hal itu mengingat hakikat sekolah adalah tempat bermain yang berasal dari bahasa Yunani, “skhole”, yang memiliki arti waktu senggang untuk bersenang senang.
Menurutnya, jika tes calistung dijadikan salah satu seleksi masuk sekolah dasar, tentu akan memberikan batasan pada calon siswa untuk mahir dan pintar dalam bidangnya.
"Ini juga berpotensi membebani anak yang sebenarnya memiliki potensi dan keahlian di bidang lain," ujar Dyah dikutip dari laman UMM, Kamis (11/5/2023).
"Selain itu, dapat menggeser fitrah anak di usia PAUD dan TK yang seharusnya datang ke sekolah untuk bermain dan bernenang-senang," imbuh dia.
Adapun pemberian materi calistung tidak perlu masuk kurikulum wajib, melainkan cukup di tataran aktivitas alamiyah. Calistung juga bukan sebuah tuntutan formal dan menjadi syarat naik atau tidak naik kelas.
Baca juga: Anak Ikut UTBK di UMM, Ortu Diajak Keliling Kampus Naik Mobil Golf
Akan tetapi, meninggalkan calistung juga bukan sesuatu yang tepat. Ini bahkan dapat menjadi berbahaya dan mengancam masa depan anak jika mereka sama sekali tidak dikenalkan.
Maka dari itu perlu adanya metode khusus yang diberikan ke anak usia dini. Metode yang tidak menimbulkan tuntutan besar bagi anak.
"Adanya tes saat awal masuk sekolah itu bertujuan untuk mengenal potensi dan kemampuan anak. Jadi nantinya proses dan metode belajar yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang anak senangi dan minati," terangnya.
Ia juga menyatakan bahwa pendidikan karakter akan jauh lebih penting dan bermakna bagi anak usia dini dibandingkan dengan pendidikan kognitif.
Apalagi budi pekerti dan akhlak yang baik akan menjadi kebiasaan yang bagus jika dilakukan sejak kecil.
Misalnya saja latihan tertib mengantre, meminta maaf ketika salah, mengucapkan terima kasih saat mendapatkan bantuan dari orang lain, dan lainnya.
Yang penting, jangan biarkan beban mendidik anak itu hanya pada lembaga formal sekolah saja. Tetapi perlu adanya penyeimbang dan dukungan dari lingkungan sekitar seperti keluarga dan masyarakat.
Baca juga: Dosen UMM Inovasi Minuman Kreatif dari Mawar
"Segala strategi dan sistem yang direncanakan pemerintah adalah untuk kemajuan bangsa dibidang pendidikan. Ini akan sia sia jika tidak dilakukan secara masif dan berbarengan oleh seluruh elemen," tandas dia.