Mochammad Wachid dosen UMM ubah limbah tahu jadi listrik. (DOK. UMM)
Penulis Sandra Desi Caesaria | Editor Albertus Adit
KOMPAS.com - Inovasi unik datang dari dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang mengolah limbah tahu menjadi listrik.
Inovasi limbah tahu menjadi listrik, digagas oleh Mochammad Wachid, selaku dosen Teknologi Pangan UMM yang sedang menempuh studi doktoral di University of Miyazaki, Jepang.
Ia menceritakan mengenai penelitiannya jika pemanfaatan limbah tahu untuk diubah menjadi listrik adalah dengan microbial fuel cell. Metode fermentasi dari pengolahan limbah tahu ini akan menghasilkan listrik.
Ia menjelaskan bahwa ada perbedaan pembuatan tahu di Indonesia dengan di Jepang.
Di Indonesia biasanya memakai asam untuk penggumpalan sedangkan di Jepang menggunakan garam yang tidak asin.
Untuk saat ini, ia tengah melakukan penelitian dengan dua sampel limbah dari Indonesia dan Jepang dengan metode pengolahan limbah yang menghasilkan energi.
Proses penelitian ini, diceritakan Wachid jika mendapat dorongan dari dosennya di Jepang.
“Di sini, mereka yang ingin melanjutkan pendidikan doktoral maupun magister harus kenal dan tahu dosennya. Tidak harus kenal langsung, bisa juga lewat konferensi. Saya beruntung karena sensei saya ini sangat tertarik dengan penelitian yang saya lakukan," katanya, dilansir dari laman UMM.
Hingga kini bisa meneliti limbah tahu menjadi listrik, prosesnya tentu tidak mudah.
Ayah dari tiga anak ini bercerita bahwa ia mengalami culture shock saat pertama kali ke Jepang bersama keluarganya.
Salah satunya suhu dan cuaca yang berbeda. Ia datang pada bulan Desember 2020 yakni saat musim dingin. Termasuk kegiatan memasak yang sering mereka lakukan untuk menghemat biaya dan menghindari makanan beralkohol serta babi.
“Alhamudlillah setelah melewati beberapa bulan, kami bisa beradaptasi. Tapi ada satu kekurangan yang masih saya miliki yakni kendala bahasa. Meski sudah berusaha belajar bahasa Jepang, tapi saya masih cukup kesulitan. Apalagi tidak semua orang Jepang bisa bahasa Inggris. Jadi saya harus membawa gawai untuk menerjemahkan," ucapnya.
Wachid menjelaskan ada beberapa aspek yang membedakan pendidikan Indonesia dan Jepang.
Di Jepang, pendidikan karakter sudah ditanamkan sejak dini. Sehingga moral dan kejujuran salalu diutamakan. Ia juga sangat jarang menemukan diskirimasi terhadap orang luar, begitupun dengan perundungan di sekolah.
“Pendidikan karakter yang diberikan sejak dini itulah yang membedakan Jepang dan Indonesia. Sehingga kasus perundungan cukup jarang terjadi, bahkan anak saya juga baik-baik saja bersekolah di sini," ujarnya.
Pria asli Lumajang ini juga berharap para sarjana atau magister di Indonesia tetap bersemangat melanjutkan pendidikan tinggi.
Karena menurutnya, ketika menimba ilmu di negara orang, tidak hanya ilmu yang didapat namun juga pengalaman.
Seperti mendapatkan budaya baru, bahasa baru, bertemu orang baru dan lainnya.
“Jangan lupa juga untuk kembali ke Indonesia dan membangun bangsa dengan berbagai cara," pungkasnya.