Belum lama ini, jagat dunia maya digemparkan oleh kejadian seorang guru di SMKN 12 Kota Malang, Jawa Timur, melakukan kekerasan pada siswanya yang telat masuk kelas dan berbohong mengenai penyebabnya. Dalam video tersebut, si guru memiting siswa dengan geram, sementara siswa lain merekam dan membagikan video itu hingga viral.
Usai viral, si guru agama tersebut jadi sorotan. Kemudian, siswa, orangtua, guru, sekolah, dinas pendidikan, dan aparat penegak hukum bertemu untuk mediasi. Mediasi berakhir damai dengan kata maaf dan guru honorer tersebut menegaskan memilih mengundurkan diri.
Sebelumnya, viral soal warganet mencaci seorang petugas satpam yang dinilai memukul anjing di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Kasus viral hingga akhirnya petugas satpam itu dipecat. Rupanya, petugas satpam tersebut memukul anjing usai dia melukai seekor kucing. Lagi-lagi, sesama warganet pun dengan cepat mengolok-olok netizen sebelumnya dan beralih membela petugas satpam.
Peristiwa-peristiwa di atas adalah contoh betapa cepatnya emosi dan kemarahan kita tersulut. Entah benar atau salah, emosi itu langsung terbakar saat melihat hal yang tidak sesuai dengan nilai yang kita anut.
”Memang realitas sekarang, dunia saat ini adalah dunia penuh tantangan. Dunia yang berat bagi masyarakat. Karena memang era teknologi ini adalah era tantangan personal untuk bisa mengatur tingkat emosional. Kenapa? Karena perubahan zaman, budaya, dan tuntutan yang ada semakin besar,” kata dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, Jumat (9/8/2024).
Untuk manusia yang hidup serba instan sekarang, orang lalu harus berpikir bagaimana untuk mencari duit. Agar bisa memenuhi tuntutan-tuntutan kehidupan yang kian banyak. Tingginya tuntutan, maka membuat tingkat stres makin tinggi. Itu memengaruhi perilaku manusia, menjadi emosional.
Menurut Luluk, dengan tuntutan sedemikian tinggi, maka terkadang orang menjadi lebih susah mengatur emosi dan kesabaran.
”Kalau kita lihat dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir, banyak sekali kejadian kekerasan di sekolah. Baik antarteman atau murid dengan siswa, maupun warga sekolah lain. Inilah tantangan kita ke depan, di mana semakin lama tantangan akan semakin banyak dan semuanya bisa menguras emosi. Itu sebabnya, kita benar-benar harus belajar mengendalikan emosi agar tidak berbuat atau menimbulkan hal yang tidak baik dan merugikan,” kata Luluk.
Baca juga: Marah-marah Apakah Cocok Menjadi Pilihan Komunikasi?
Singkatnya, menurut Luluk, kebutuhan tampilan dan kesemuan kehidupan instan yang menuntut lebih tinggi membuat orang bekerja keras untuk banyak hal. Itu bisa memicu emosi dan bisa berdampak ke hal lain yang lebih besar.
Sebenarnya, apa emosi itu? Menurut Sarwono dalam buku Pengantar Psikologi Umum (2012), emosi adalah reaksi penilaian (positif atau negatif) yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya.
Akhmad Fajar Prasetya dan I Made Sonny Gunawan dalam bukunya berjudul Mengelola Emosi (2018) menyebut bahwa seseorang akan lebih mudah memahami dan mengelola emosi apabila telah mampu mengenali emosinya. Mengenali emosi sama dengan kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Adapun menurut Mayer (Goleman, 1995), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati dan pikiran. Bila kurang waspada, individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai emosi. Mengenali emosi diri memang belum menjamin penguasaan emosi, tetapi merupakan salah satu syarat penting untuk mengendalikan/mengelola/menguasai emosi.
Setelah mengenali emosi, maka seseorang disebut akan bisa bersikap dengan tepat. Misalnya saat marah, seseorang bisa melakukan beberapa hal di bawah ini agar emosi marah tersebut bisa dikendalikan.
Menurut American Psychological Association (APA), ada beberapa strategi mengelola emosi marah, di antaranya relaksasi dan mengubah cara pikir.
Cara relaksasi sederhana misalnya menarik napas, mengucapkan kata-kata seperti sabar, tenang, secara pelan seiring tarikan-embusan napas. Sementara mengubah cara pikir adalah menggantinya dengan pikiran yang lebih rasional.
Misalnya saat marah, orang cenderung berpikiran negatif. Saat itu, ada baiknya menerima perasaan marah itu sambil mengatakan kepada diri sendiri: ini membuat frustrasi, dan dapat dimengerti jika saya marah. Namun, ini bukan akhir dunia dan marah tidak akan memperbaikinya.
Demikianlah beberapa cara sederhana mengelola emosi agar tidak meledak dan merugikan. Bagaimana menurut Anda?