Foto : antarafoto
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi
MALANG - Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi menyatakan bahwa Indonesia perlu belajar pada Muhammadiyah, karena organisasi Islam itu lebih tua.
"Usia seratus tahun bagi bangsa pada 2045, masih dianggap sebagai usia yang muda. Muhammadiyah lebih tua, karena sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka," kata Muhadjir Effendi dalam rilis yang diterima di Malang, Jawa Timur, Minggu (4/9).
Menko PMK mengatakan hal itu dalam Sarasehan Pra-Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang diselenggarakan di Dome kampus setempat Sabtu (3/9).
Menurut Muhadjir, sudah semestinya Indonesia belajar banyak hal dari Muhammadiyah yang lebih tua. "Ini bisa jadi bahan yang bagus bagi bangsa untuk membenahi kekurangan yang ada," ucapnya
Menyinggung generasi muda usia produktif sebagai bonus demografi pada 2045, Menko PMK mengatakan penduduk yang lahir tahun 1980-2028 akan menentukan keberhasilan Indonesia Emas.
"Generasi yang akan menentukan keberhasilan Indonesia Emas pada 2045 adalah penduduk yang lahir antara tahun 1980 hingga 2028. Mereka yang akan menginjak usia produktif pada tahun di mana Indonesia berusia 100 tahun," katanya.
Lebih lanjut, Muhadjir mengatakan penduduk dengan usia produktif memiliki peran penting. Jika mereka bekerja dengan produktif, pendapatannya akan mengalir pada tiga hal, yakni kebutuhan diri, pembiayaan bagi usia non-produktif, dan tabungan.
Besar kecilnya tabungan ini, lanjut dia, baik dari segi individu maupun agregat akan jadi taruhan negara dalam upaya menjadi negara maju.
"Kalau kita mampu memanfaatkan bonus demografi dan penduduk memiliki pendapatan yang tinggi, kita bisa menjadi negara maju. Kalau tidak bisa memanfaatkannya, bonus demografi akan menjadi sia-sia," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak mengatakan dalam dokumen Indonesia Emas 2045 tercantum bahwa Indonesia diharapkan mampu menjadi negara maju, salah satu dari lima kekuatan ekonomi dunia, dan memiliki sumber daya manusia yang unggul. Selain itu, tingkat penguasaan iptek yang tinggi dan kesejahteraan yang lebih baik serta merata.
Emil mengemukakan berdasarkan data International Monetery Fund (IMF), saat ini ekonomi Indonesia berada pada peringkat 15 dunia berdasarkan nominal GDP. Jika dilihat dari purchasing power parity, Indonesia sudah berada di peringkat tujuh di dunia. Diperkirakan pada 2030, Indonesia masuk lima besar dunia dengan GDP sebesar 5,42 triliun dollar AS.
Menurut dia, target lima besar ini sangat mungkin dicapai, bahkan jauh sebelum 2045. Namun, ada tantangan-tantangan yang harus segera diatasi. Dua di antaranya adalah pengangguran generasi muda dan ancaman hilangnya pekerjaan di masa depan karena disrupsi teknologi.
"Saya bangga dan mengapresiasi inovasi solutif UMM yang membangun Center for Future of Work (CFW) dan Center of Excellence (CoE) di kawasan ekonomi khusus Singhasari. Harapannya, CFW dan CoE menjadi jawaban agar kita bisa menghadapi beragam tantangan masa depan. Banyak pemangku kepentingan nasional maupun internasional yang mendukung terobosan UMM, termasuk pakar marketing, Hermawan Kartajaya," ucapnya.
Sedangkan Habib Husein Ja'far Al Hadar mengemukakan moderatisme di tubuh Muhammadiyah sudah sangat baik. Muhammadiyah dinilai inklusif dan terbuka bagi semua kalangan, bahkan sudah menjadi ciri awal sejak organisasi ini berdiri.
Terkait Islam wasathiyah, Habib Ja'far mengatakan moderatisme atau wasathiyah bukan berarti tidak memihak pada siapapun. Layaknya wasit yang berdiri di tengah, Muhammadiyah melihat ke kanan dan ke kiri secara fair. Tidak bias ke kanan maupun ke kiri.
"Muhammadiyah menilai suatu keadaan yang berdiri di hal yang benar. Moderatisme pada dasarnya bagian integral paling mendasar dari Islam. Jadi kemunculannya bukan karena terorisme atau radikalisme," katanya.
Habib Ja'far menyebut sederet implementasi moderatisme dalam Muhammadiyah, mulai dari moderatisme ekonomi yang mencegah kemiskinan hingga moderatisme pendidikan dengan puluhan ribu lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah, termasuk UMM dan 174 perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah lainnya.
"Mungkin satu masukan yang bisa didiskusikan lebih lanjut di Muktamar Muhammadiyah nanti adalah moderatisme digital. Saya seringkali hadir di forum digital, tapi susah sekali menemui orang-orang Muhammadiyah yang jadi dai digital. Padahal tantangan dan medan perang utama ada di sini," katanya.
Hampir 63 persen orang itu belajar Islam lewat platform digital. Bahkan, menurut riset, masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan 8,5 jam untuk gawainya. "Ini menjadi hal yang penting untuk segera didiskusikan dan dicari strateginya," ujar Habib Ja'far.