Oleh Drs Atok Miftachul Hudha MPd *)
Jabatan guru adalah jabatan profesi yang berimplikasi pada produk yang dihasilkan. Tolok ukur keberhasilannya apabila guru berhasil melahirkan siswa-siswa yang lulus ujian serta ditunjang dengan nilai-nilai dan angka-angka kelulusan yang diraih siswa dapat bersaing memasuki lembaga pendidikan favorit pada jenjang di atasnya. Akibat dari parameter inilah akhirnya menuntut seorang guru menjadi guru yang professional.
Acapkali jika lembaga pendidikan tidak berhasil melahirkan produk lulusan yang berprestasi atau bahkan jumlah peserta didik yang lulusnya jauh dari harapan, maka semua kesalahan akan dilimpahkan masyarakat kepada guru, termasuk kepala sekolah yang dianggap tidak berhasil dalam kepemimpinannya. Pendekatan fundamentalisme pendidikan semacam ini mau tidak mau harus diterima dengan lapang dada.
Penyelenggaraan pendidikan dan mutu pendidikan di Indonesia dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua akan tergambar, bahwa belum terjadi pemerataan mutu pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan 8 (delapan) standar nasional pendidikan diketahui bahwa perlu terus menerus ditingkatkan untuk dapat menjawab dengan baik dan berhasil guna meningkatkan profesionalisme guru.
Banyak wacana yang dikedepankan untuk memberikan landasan, mengapa harus guru yang paling awal ditingkatkan profesionalismenya? Lalu dengan cara dan konsekuensi apa profesionalisme guru bisa ditingkatkan? Tentu jawaban yang dianggap tepat saat ini adalah sertifikasi guru, karena dengan sertifikasi itulah akan terukur, bagaimana sesungguhnya profile guru tersebut sebagai seorang profesional.
Standar guru yang profesional; pasti sukses dalam mengajar, mampu mempersiapkan diri berdiri di depan kelas, menjadikan siswanya sebagai partner bukan sebagai robot yang tinggal disetir, mengetahui karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing siswanya, dapat melaksanakan tugas pengajarannya tepat waktu, mudah bergaul dengan siswanya, mampu memberikan evaluasi pengajaran terhadap siswanya dengan baik dan obyektif.
Ukuran di atas adalah parameter ideal, namun berapa banyak yang mampu mencapai parameter tersebut? Pertanyaan ’klasik’ ini pasti terus menyeruak di permukaan, bukan lagi wacana tetapi realita, karena itulah upaya apapun yang dilakukan oleh seorang guru dalam mencukupi kebutuhan hidupnya tidak harus meninggalkan tugas utamnya sebagai seorang guru yang harus mengajar dan mendidik siswa di sekolah.
Peningkatan mutu guru harus terfokus pada dua hal. Pertama, peningkatan martabat guru, secara sosial budaya dan ekonomi. Hingga detik ini, profesi guru masih dipandang sebagai profesi yang tidak elegan sehingga tidak menjadi profesi yang tergolong favorit. "Sang Umar Bakri" yang identik dengan kesulitan hidup pada satu sisi dan tanggung jawab terhadap anak didik pada sisi lain itu, secara sosial budaya, masih menempati kelas ke sekian dibandingkan profesi-profesi lainnya yang juga setingkat sarjana.
Kekhawatiran muncul ketika pemerintah tidak melakukan usaha serius terhadap peningkatan martabat guru. Sebab, akan menurun pula minat dan niat bagi mereka yang tergolong cerdas atau pandai untuk mengambil studi pada perguruan tinggi atau jurusan-jurusan yang mencetak guru.
Dalam bahasa yang lebih lugas, mereka tidak mau menjadi guru karena penghargaan terhadap profesi guru secara ekonomi tergolong kecil. Jika pemikiran dan opini seperti itu langgeng dalam masyarakat, maka banyak anak-anak cerdas yang akan mengambil keputusan untuk tidak menjadi guru, kareana profesi lain lebih menjajikan untuk memperoleh kesejahteraan hidup.
Kenyataan ini dapat kita lihat dari input data perguruan tinggi kependidikan, bahwa jumlah lulusan SMA yang mendaftar di institusi ini sangat kecil animonya dibanding dengan jurusan maupun fakultas lain yang menghasilkan calon sarjana non-kependidikan. Trend seperti ini walaupun tidak terjawab melalui penelitian, dapat disimpulkan bahwa trend untuk menjadi pendidik (guru) dimasyarakat mengalami penurunan minat.
Meningkatkan martabat guru bukan pekerjaan sederhana, tetapi dengan usaha serius. Ada hukum sebab akibat yang mutlak dan kitra yakini, bahwa tidak mungkin pendidikan di suatu negara menjadi baik tanpa guru-guru yang baik dan berkualitas, tidak mungkin suatu negara menjadi maju tanpa pendidikan yang maju dan berkualitas. Dan sekali lagi untuk berhasil membuktikan hukum sebab akibat ini mutu guru harus berkualitas.
Kedua, peningkatan profesionalisme guru melalui program yang terintegrasi, holistik sesuai dengan hasil pemetaan mutu guru yang jelas dan penguasaan guru terhadap teknologi informasi serta metode pembelajaran mutakhir. Dengan demikian adanya pemikiran bahwa guru identik dengan kapur, papan tulis, satpel dan buku sumber akan berubah karena guru akan sama dengan sarjana teknik atau komputer yang mahir menggunakan teknologi mutakhir dan menguasai bahasa asing.
Pekerjaan peningkatan kualitas yang berkaitan dengan profesionalisme guru harus beriringan dengan peningkatan kesejahteraan karena keduanya bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, guru akan menjadi profesi yang utuh dan terhormat, bukan lagi sebagai profesi kelas dua yang identik dengan "kekurangan" dalam konteks ekonomi dan profesionalisme.
Tugas guru itu berat dan mulia, maka harus diimbangi dengan kemuliaan harkat dan martabatnya melalui penghangkatan derajat kesejahteraan. Kunci mendasar ini yang dikuti dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang strategis dalam membangun dunia pendidikan di Indonesia dari sisi yang lain, pasti akan menjadi jawaban dapat dicapainya mutu pendidikan yang dilatar belakangi oleh guru yang profesional.
*) Dosen Tetap FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.