"Tidak mungkin bisa membantu orang miskin dengan kondisi universitas yang juga miskin."
Suatu malam Muhadjir Effendy mendadak datang ke kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Di depan pintu gerbang, Rektor UMM ini melihat posko satuan pengamanan sepi. Ketika dilongok, seorang petugas satpam sedang tidur. Muhadjir pulang ke rumah dengan membawa sepeda motor milik satpam tersebut. Besoknya, kampus geger karena ada kabar seorang petugas satpam kehilangan sepeda motor.
Muhadjir Effendy memang kerap datang ke kampus malam hari. Doktor ilmu sosial ini mengecek kondisi kampus, dari lampu penerangan hingga ruang dosen. Jika ditemukan ada yang tak beres, misalnya lampu mati atau toilet yang kotor, dia memberi tahu anak buahnya agar segera dibereskan. "Jika ingin mengetahui pelanggaran, kita harus mengecek di luar jam kantor," katanya kepada Tempo.
Datang ke kampus pada malam hari adalah gaya memimpin Muhadjir. Hasilnya tak sia-sia. Tahun lalu UMM dinobatkan sebagai universitas terkemuka di Jawa Timur oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Predikat itu memang layak disandang Muhadjir. Kampus yang punya jargon “The Real University” ini memiliki sejumlah fasilitas yang lengkap dan modern, dari kelas multimedia hingga perpustakaan dengan sistem komputerisasi.
Saat ini UMM punya tiga kampus. Seluruh kegiatan administrasi dan proses belajar-mengajar terpusat di Kampus 3, yang terletak di daerah Kecamatan Tlogomas, Kota Malang. Berdiri di atas lahan seluas 43 hektare, UMM saat ini punya 20 ribu mahasiswa, dan 791 dosen dengan kualifikasi 94 persen lulusan S-2, S-3, dan guru besar.
Muhadjir mulai berkarier di UMM pada 1983 atau setahun setelah lulus dari IKIP Negeri Malang. Oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bapak dua anak ini ditunjuk sebagai Pembantu Rektor (PR) III. Kondisi UMM saat itu tidak bagus karena mahasiswanya sering berkelahi, mendemo kampus, dan tidak mau bayar uang kuliah. "Saya diamanatkan mengatasi mahasiswa karena saya pendekar Tapak Suci," ujarnya.
Bersama Rektor Malik Fadjar, Muhadjir mulai membenahi masalah di UMM. Untuk mengatasi masalah mahasiswa, dia menerapkan aturan keras. Untuk mahasiswa yang tak mau bayar SPP, misalnya, diberikan dua pilihan: membayar atau keluar. Hasilnya, mahasiswa yang tak mau membayar akhirnya memilih keluar.
Saat Muhadjir menjadi PR III, era inilah awal kebangkitan UMM yang berdiri pada 1964. Sebelumnya, UMM hanya menjadi universitas yang asal hidup karena para perintisnya sibuk di partai politik.
Setelah dua belas tahun menjadi PR III, Muhadjir diangkat sebagai PR I. Namun, dia menangani tugas rektor karena pada saat yang sama Malik Fadjar diangkat menjadi direktur jenderal di Departemen Agama. "Saya pakai kesempatan ini untuk belajar," tutur Muhadjir.
Dalam perjalanan memimpin UMM, ada pertarungan konsep pengelolaan UMM di antara pimpinan UMM. Ada pimpinan yang berpendapat UMM tetap sebagai organisasi dakwah di bidang pendidikan dengan banyak melayani kaum duafa. Ada pula pimpinan, termasuk Muhadjir, yang berpandangan agar UMM dikelola secara profesional sehingga UMM bisa menjadi kampus yang berkualitas, besar, dan tetap melayani kaum duafa.
Bagi Muhadjir, tak mungkin bisa membantu orang miskin dengan kondisi UMM yang juga miskin. "Antara berkualitas dan orientasi ke kaum duafa itu dua hal yang berbeda," kata pria asal Madiun yang lahir pada 29 Juli 1956 ini. Akhirnya pimpinan UMM menyepakati opsi menjadikan UMM sebagai kampus yang berkualitas, tetapi tetap peduli terhadap kaum duafa dengan cara subsidi silang.
Empat tahun kemudian, Muhadjir dilantik menjadi rektor. Dia pun mulai menerapkan paradigma kampus berkualitas dan besar. Program awal yang diterapkan adalah pembenahan sumber daya dosen dengan cara merekrut dosen lewat jalur tes yang selama ini belum pernah dilakukan.
Muhadjir juga menerapkan aturan bahwa studi lanjut dosen harus sesuai dengan basis ilmunya. Dia juga mewajibkan dosen mahir bahasa Inggris dengan menyekolahkannya ke sebuah lembaga kursus internasional di Denpasar, Bali.
Dosen juga didorong melakukan kegiatan yang berimbang antara mengajar, belajar, dan riset. Saat itu soal riset ini sempat menjadi masalah karena jumlah dosen yang melakukan riset hanya sedikit. Masalahnya bukan karena dosen tak tertarik riset, melainkan lantaran dosen punya beban mengajar sangat banyak.
Untuk mengatasi hal itu, Muhadjir lantas mengurangi jumlah penerimaan mahasiswa baru dan mengalokasikan dana yang besar untuk riset. Riset kini menjadi tradisi sehingga UMM mendapat dana riset dari Departemen Pendidikan Nasional dalam jumlah yang paling banyak dibandingkan perguruan tinggi swasta lainnya.
Kurikulum juga dibenahi Muhadjir dengan membuat database alumni yang antara lain berisi data tempat bekerja, gaji, dan relevan-tidaknya tempat bekerja dengan ilmu yang didapat ketika kuliah. Saat ini Muhadjir juga sedang merancang program untuk alumni yang belum bekerja dengan membuat program pelatihan kewirausahaan bagi alumni yang masih menganggur.
Dalam masalah keuangan, Muhadjir menerapkan prinsip surplus anggaran. UMM tidak akan melakukan pembangunan kampus jika tak ada dana dan tabungan. "Saya tak mau berutang, termasuk untuk membangun Kampus 3 ini," tuturnya. Dengan cara ini, dana untuk gaji dosen dan karyawan tidak terganggu.
Muhadjir saat ini terus menggalakkan perolehan keuntungan dari sejumlah usaha yang dikelola UMM. Cara ini ditempuh agar UMM tidak seratus persen bergantung pada dana dari mahasiswa. Dia berpandangan, perguruan tinggi swasta akan bisa bertahan hidup dengan kualitas yang bagus jika sekitar 30 persen pembiayaannya diperoleh dari usaha mandiri kampus.
Dua belas tahun sudah Muhadjir menjadi Rektor UMM. Tahun lalu dia ditunjuk kembali menjabat rektor untuk yang ketiga kalinya. "Saya diperpanjang menjadi rektor bukan karena saya berhasil, tetapi karena banyak program yang belum terselesaikan," katanya.
Salah satu tugas tersebut adalah membangun rumah sakit pendidikan yang diproyeksikan menjadi rumah sakit pendidikan terbesar se-Indonesia. "Saya ingin UMM menjadi kampus yang berkualitas." BIBIN BINTARIADI
Universitas Makin Mahal
Ada guyonan yang beredar di masyarakat tentang singkatan nama Universitas Muhammadiyah Malang. UMM, yang merupakan kepanjangan dari Universitas Muhammadiyah Malang, semula dipelesetkan menjadi “universitas murah meriah” karena biaya kuliahnya murah. Setelah dipegang oleh Muhadjir Effendy, singkatan UMM dipelesetkan menjadi “universitas mulai mahal” dan “universitas makin mahal”. UMM sekarang dipelesetkan menjadi “universitas munggah-mudun” (naik-turun) karena topografi lokasi Kampus 3 yang memang naik-turun.
Muhadjir tak setuju jika biaya kuliah UMM dikatakan mahal. Menurut dia, banyak fasilitas untuk mahasiswa sehingga jika dihitung tidak semua fasilitas dibayar oleh mahasiswa. "Sebagian gratis," katanya.
Banyak fasilitas untuk mahasiswa di UMM. Ada lembaga unit bisnis yang bisa dipakai mahasiswa sebagai tempat belajar wirausaha, ada perpustakaan digital, ada laboratorium dan lembaga kursus bahasa Inggris. UMM juga menyediakan dana untuk berbagai kegiatan mahasiswa, seperti fotografi, sinematografi, advertising, dan pencinta alam.
Muhadjir memang menonjolkan kualitas pelayanan dan kualitas output. Menurut dia, jika pelayanan berkualitas, ouput-nya akan berkualitas. Kualitas output adalah kemandirian mahasiswa dari sisi mental, sedangkan kualitas pelayanan menyangkut pelayanan dosen, fasilitas, infrastruktur, dan pembimbingan. "Kualitas memang mahal," tuturnya. BIBIN BINTARIADI