Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
Pemilihan Umum pada tahun 2024 diperkirakan masih akan menghadirkan isu-isu politik identitas seperti pemilu pada tahun 2019 silam. Isu-isu politik identitas dapat lahir dari berbagai macam faktor seperti agama, suku, gender, dan lain sebagainya. Besar kemungkinan para makelar-makelar politik kembali memanfaatkan isu tersebut untuk memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini, partai politik dengan kader-kader yang mereka andalkan akan menonjolkan identitas-identitas tertentu dalam menarik dukungan dari berbagai macam kelompok yang memiliki identitas yang sama.
Semakin kesini, makna politik identitas selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk. Sebab, politik identitas dianggap sebagai teknik promosi politik yang mengedepankan identitas dibanding dengan gagasan. Bukan hanya tentang agama, politik identitas juga seringkali mengedepankan isu-isu sensitif seperti suku dan budaya. Dampak buruk dari politik identitas amatlah besar, kandidat yang bertarung di dalam pemilihan umum akan abai terhadap kualitas dan kebijakan yang mereka tawarkan apabila hanya berfokus mengusung politik identitas. Pun juga, dengan masifnya kampanye menggunakan politik identitas akan membatasi ruang lingkup diskusi kebijakan politik serta mendorong hadirnya tindakan diskriminatif.
Sejauh ini, partai peserta pemilu 2024 yang terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai partai yang mengusung politik identitas adalah Partai Ummat. Melalui ketua umumnya, Ridho Rahmadi, ia mengatakan bahwa Partai Ummat merupakan partai politik identitas. Ia menambahkan bahwa tanpa hadirnya moralitas dalam beragama, politik akan kehilangan sebuah arah dan akan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional. Politikus muda tersebut menganggap politik identitas merupakan politik yang sudah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Dalam aktivitas berpolitiknya, Partai Ummat juga kerap menonjolkan isu-isu keagamaan dan mendukung kebijakan-kebijakan yang pro terhadap Islam seperti penghapusan pornografi dan judi, serta penerapan hukum syariah Islam. Namun, beberapa kritikus menyatakan bahwa Partai Ummat cenderung memperkeruh isu-isu identitas dan memperluas kesenjangan sosial yang terdapat di dalam lapisan sosial masyarakat.
Menkopolhukam, Mahfud MD menanggapi isu politik identitas yang digaungkan oleh Partai Ummat, Mahfud menganggap bahwa politik identitas tidak perlu dipersoalkan apabila digunakan sebagai alat untuk menyadarkan umat Islam agar bersama-sama dalam menjaga Indonesia. Namun, Mahfud juga mengingatkan apabila politik identitas dimaknai dengan cara yang lain seperti provokasi dan kebencian, maka hal tersebut tidak perlu untuk dikampanyekan.
Kembali lagi kepada permasalahan politik identitas. Sejak dahulu, politik selalu berkaitan dengan identitas. Jika ditarik benang sejarahnya, pada zaman Orde Lama, Partai Masyumi mewakili identitas umat Islam yang anti terhadap kekuasaan tangan besi Bung Karno dengan penafsiran demokrasi terpimpinnya pada saat itu. Ada pula Partai Komunis Indonesia yang mewakili sebagian besar kaum buruh dan pekerja. Serta Partai Nasional Indonesia, partai yang menjadi kendaraan politik Bung Karno tersebut mewakili kaum-kaum yang menganut paham Marhaenisme dan mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Bung Karno.
Pun juga pada era pascareformasi, partai-partai politik di Indonesia masih kental dengan identitas masing-masing pemilih partai. Misalnya, Partai Keadilan Sejahtera mewakili kader-kader tarbiyah yang berkiblat pada sistem yang diciptakan oleh Ikhwanul Muslimin, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan yang kental dengan pemilih-pemilih dari organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama. Ada pula PDIP yang saya anggap sebagai PNI reborn karena berhasil mengakomodir kebutuhan politik penganut-penganut paham Marhaenisme, serta masih banyak partai politik lainnya dengan identitas pemilihnya masing-masing.
Identitas dalam berpolitik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Partai Politik harus memiliki identitas agar dapat mewakili orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan mereka.
Meminjam apa yang dikatakan oleh Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia yang juga dikenal sebagai politisi yang vokal terhadap isu-isu keagamaan dan identitas, dalam sebuah kesempatan di salah satu televisi swasta dia mengatakan bahwa seharusnya politik identitas tidak menjadi persoalan karena Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk, perbedaan identitas harus dianggap sebagai suatu kekayaan, bukan sebagai sumber konflik. Dalam pandangan Jusuf Kalla, politik identitas dapat menjadi hal yang positif jika digunakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, jika digunakan untuk kepentingan politik sempit dan memecah belah masyarakat, maka politik identitas dapat menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan.
Maka dari itu, seiring matangnya kesadaran politik masyarakat Indonesia terutama dari kalangan Gen-Z, diharapkan isu-isu politik yang berkaitan dengan identitas dan dibalut dengan provokasi dan kebencian tidak menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan pada Pemilu 2024 yang akan datang. Pemilih yang tidak rasional akan terus bermunculan apabila politik identitas yang dibalut dengan kebencian terus digunakan sebagai senjata dalam berpolitik. Pun juga, partai politik beserta kader-kadernya diharapkan dapat membangun kampanye yang berbasis kepada gagasan serta solusi konkret dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Jangan sampai konstelasi Pemilu terus menghadirkan polarisasi atau perpecahan di tengah lapisan sosial masyarakat Indonesia.