MALANG- Rencana pemisahan sektor perikanan dan sektor kelautan yang saat ini menjadi satu di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapat penolakan dari Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI). Mereka meminta kepada pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-JK, supaya tidak merubah dan mempertahankan keberadaan sektor perikanan dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekjen MAI Dr. Ir.H. Agung Sudaryono, MSc. Menurutnya, kebijakan itu tidak efektif dan perlu waktu adaptasi minimal dua tahun agar dapat berjalan dengan normal. Selain itu, sektor kemaritiman bila berdiri sendiri otomatis anggaran dari APBN atau negara lebih banyak mengeluarkan dana bagi pembangunan kemaritiman Indonesia.
“Perikanan menjadi sektor strategis dan potensial memberikan kemajuan yang nyata sebagai sumber devisa dan lapangan kerja,” katanya disela-sela kuliah umum bertajuk “Pembangunan industry akuakultur Indonesia sebagai penggerak ekonomi unggulan bagi kemakmuran bangsa” di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (25/9).
Dia menyebut, dalam rencana Kementerian Maritim, sector kelautan akan masuk dalam Departemen Maritim dan sector perikanan bergabung dalam Departemen Kelautan Pangan, termasuk didalamnya ada pertanian dan peternakan.
Indonesia, kata dia, merupakan produser perikanan budidaya terbesar kedua di dunia, yakni sekitar 3,5 juta ton per tahun, setelah China dengan 42 juta ton per tahun. Dalam data BPS 2014, sektor perikanan budidaya sendiri (tawar, payau, dan laut) sebagai sumber pendapatan usaha rumah tangga terbesar dengan nilai mencapai Rp.196, 4 juta per tahun.
Sementara sektor usaha rumah tangga padi hanya bernilai Rp10,9 juta (5,5) persen, holtikultura Rp 17,71 juta (9 persen), perkebunan Rp20,44 juta (10 persen), peternakan Rp14,56 (7 persen ) dan kehutanan Rp15,82 (8 persen) dari sumber pendapatan usaha perikanan.
Sedangkan produksi perikanan budidaya dari data BPS 2007 sekitar 9,87 juta ton jauh mengungguli produksi peternakan yang sebesar 3,85 juta ton.
“Ini membuktikan bahwa kontribusi perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sangat bagus, sayang jika digabung di departemen dan lebih dikerdilkan,” terangnya.
Sekadar diketahui, MAI merupakan organisasi lintas profesi di bidang kelautan. Organisasi ini dibentuk tahun 2011 yang beranggotakan praktisi, peneliti, birokrat, akademisi, dan politisi.
Pria berkacamata ini menilai, apabila rencana kabinet Jokowi-JK ini tetap dilangsungkan, akan berdampak negatif. Pertama, pengelolaan manajemen yang ada akan kacau sekaligus butuh waktu dua tahun untuk menormalkannya kembali. Kedua, nanti dari studi keilmuan akan kacau karena lebih dari 20 Perguruan Tinggi yang telah memiliki Fakultas Perikanan dan Kelautan. Ketiga, langkah tersebut merupakan suatu kemunduran sebagai sumber negara, karena sumbangsih perikanan cukup besar terhadap PDB.
Apalagi, jelas dia, kedepan kebutuhan pangan terutama perikanan terus meningkat. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara lain juga mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Padahal, setiap tahun budidaya perikanan mengalami peningkatan 30 persen. “Indonesia terdiri dari 72 persen perairan, sayang jika tidak dikelola secara baik. Paling penting perubahan susunan kementerian ini otomatis menurunkan produksi perikanan di Indonesia dengan terbatasnya dana,”tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kemenetrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Abduh Nur Hidayat menambahkan, bila Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa. Oleh karenanya, dibutuhkan pengembangan secara terus menerus, sekaligus peran serta mahasiswa pasca lulus juga tidak kalah penting. “Perikanan merupakan sektor penting bagi ekonomi masyarakat, makanya ini harus tetap dirawat dan dikembangkan. Supaya potensi yang ada dapat dikelola secara maksimal,”pungkasnya.