JATIMTIMES - Sudah kurang lebih tiga bulan, tragedi Kanjuruhan yang telah menewaskan ratusan korban jiwa itu tak kunjung usai menemukan sisi terang. Seharusnya, sepak bola merupakan olahraga yang paling populer dan diminati, setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi penggemar di beberapa klub sepak bola. Baik itu di tingkat lokal, regional, Nasional atau bahkan Internasional. Benda bulat itu indah dengan rerumputan hijau yang telah ditetesi dan diperebutkan oleh dua tim yang berlawanan.
Sorakan suporter menyemangati para juara yang berlaga di lapangan sepak bola, tendangan dan sundulan dengan variasi skill pemain yang menarik dan menggoda para suporter. Malah masih menyisakan duka yang mendalam usai tragedi kerusuhan di stadion Kanjuruhan itu. Sebuah tragedi nahas yang menelan korban jiwa terbesar ke dua dalam sejarah kerusuhan di stadion sepak bola di dunia. Betapa tidak, meskipun kerusuhan pascatanding seperti ini kerap terjadi, tetapi musibah di Kanjuruhan Malang merupakan tragedi paling mematikan dalam sejarah sepak bola Nasional yang sedang tumbuh dan berkembang.
Tragedi Kanjuruhan adalah yang paling mematikan kedua dari 15 tragedi sepakbola dunia. Yang terburuk terjadi pada tahun 1964 dalam kualifikasi Olimpiade di Peru antara tuan rumah dan Argentina, di mana 318 orang meninggal. Faktanya, pada bulan Oktober 1962, para penggemar sepak bola di Rusia putus asa ketika mereka meninggalkan stadion setelah menonton pertandingan Spartak Moskow melawan HFC Harlem di Stadion Luxhiniki Moskow. Otoritas Soviet tidak mengungkapkan tragedi ini, tetapi ketika informasi itu dipublikasikan, jumlah korban tewas adalah 340 orang.
Pengusutan tragedi Kanjuruhan ini oleh para penegak hukum belum saja selesai dan bahkan terkesan molor. Padahal, tragedi ini termasuk salah satu peristiwa yang dapat dikatakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap HAM (Hak Asasi Manusia). Mengapa begitu? Karena akibat dari tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan prinsip dan keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan sepak bola.
Ada tujuh pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa tersebut, salah satunya tindakan yang berlebihan atau excessive use of force yakni dengan adanya penembakan gas air mata. Penggunaan gas air mata pada proses pengamanan pertandingan di stadion merupakan bentuk penggunaan kekuatan berlebihan dikarenakan pada pasal 19 aturan FIFA soal safety and security itu dilarang. Ada sistem keamanan yang melanggar aturan PSSI dan FIFA yang melibatkan polisi dan TNI. Sistem keamanan itu meliputi penggunaan gas air mata dan tembakan, penggunaan simbol-simbol terlarang dan ruang kendaraan, termasuk barakuda.
Cepat tanggap aksi dari para penegak hukum dalam mengatasi atau mengusut kasus ini terkesan sangat lelet dan merugikan banyak pihak, khususnya keluarga korban dari tragedi Kanjuruhan ini. Hingga sampai saat ini, polisi hanya masih menetapkan enam tersangka saja. Enam tersangka itu diantaranya dari pihak sipil adalah Ahkmad Hadian Lukita, General Manager PT LIB, Abdul Haris, Presiden Direktur Panpel Arema FC, dan Suko Sutrisno, Security Officer. Pasal 359 KUHP dan/atau Pasal 360 KUHP dan/atau Pasal 130 (1) bersama dengan Pasal 52 UU No. 11 dari 2022 diterapkan untuk ketiganya.
Tiga tersangka lainnya yakni dari kepolisian adalah yaitu Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman. Mereka dikenakan dengan Pasal 359 KUHP dan/atau Pasal 360 KUHP. Malah, penegak hukum cepat dalam mengatasi atau mengurusi kasus lainnya yang tidak terlalu penting atau urgent dibanding dengan tragedi Kanjuruhan ini. Contohnya, pada kasus video asusila kebaya merah yang menyebar, polisi hanya butuh waktu tiga hari saja dalam mengusut kasusnya, lalu dapat meringkus para pelaku pada video asusila tersebut.
Para simpatisan Aremania pada akhirnya menggelar aksi damai dengan tajuk “Malang Menghitam” sebagai seruan kekecewaan Aremania kepada para penegak hukum yang tidak becus dalam mengusut peristiwa ini. Aksi damai ini dilakukan oleh Aremania setiap minggunya di banyak titik di area Malang Raya dan sekitarnya. Para Aremania mengutarakan pendapatnya yang kecewa melalui visualisasi tulisan serta gambar yang dibawanya, serta seruan orasi yang menggebu-gebu. Selain aksi damai, upaya lain yang dilakukan oeh Aremania, terutama keluarga korban untuk mendapatkan keadilan yaitu meminta adanya autopsi pada korban yang tewas pada tragedi Kanjuruhan ini.
Tujuan dari adanya autopsi ini, orang tua dari korban dapat mengetahui penyebab pastinya anaknya meninggal pada tragedi Kanjuruhan ini. Dikarenakan oleh paparan gas air mata yang telah ditembakkan ataupun karena adanya aktivitas fisik yang mengenai pada tubuh korban. Tetapi, ketika adanya permintaan autopsi ini, pihak polisi malah menghalang-halangi adanya kegiatan ini. Aksi polisi ini malah menimbulkan tanda tanya yang besar bagi kita semua, apakah memang benar peristiwa ini terjadi karena didalangi oleh aparat penegak hukum sendiri yakni polisi?
Saya berharap siapa pun yang bertanggung jawab atas permainan tersebut berani mengatakan bahwa tanggung jawab mereka adalah semua korban dihormati dengan cara yang layak dan beradab. Negara segera datang memberikan motivasi dan solusi yang lebih bermartabat dan terhormat, ini merupakan simbol dan pertanda buruk bagi sepak bola Nasional. Kanjuruhan harus menjadi pengingat.
Arwah mereka yang hilang jangan sampai sia-sia. Tapi, harus menjadi titik perbaikan dalam segala aspek. Tugas penegak hukum sekarang dan ke depan adalah menjadikan amanah sosial sebagai prioritas strategis bagi bangsa. Memperbaiki, membangun kembali, dan membangun kepercayaan sosial memerlukan kerja proaktif yang melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat.
Tidak ada sepak bola yang seharga dengan nyawa.
Justice for Kanjuruhan.
Salam Satu Jiwa!
Penulis: Achmad Fandhia Yusuf Fadillah, Mahasiswa Teknologi Pangan, Universitas Muhammadiyah Malang