Piala Dunia U-20.
Sumber :
Kemenpora
Malang – Konsekuensi besar harus diterima oleh Indonesia pasca FIFA membatalkan statusnya sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang sebenarnya tinggal menghitung beberapa pekan saja. Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Pengamat sekaligus Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Hafid Adim Pradana mengatakan, ada kerugian di berbagai sektor yang harus diterima. Secara diplomatik, Indonesia akan memiliki citra yang kurang baik di mata internasional.
“Karena nasi sudah menjadi bubur, maka kita harus tetap menghargai dan menghormati keputusan FIFA. Sayangnya, Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20,” kata Hafid, Jumat, 31 Maret 2023.
Gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah disinyalir karena munculnya sejumlah penolakan oleh beberapa tokoh, parpol dan organisasi masyarakat yang tidak setuju Timnas Israel datang ke Indonesia. Sementara Israel sendiri berhak tampil di Piala Dunia U-20 karena lolos kualifikasi sebagai salah satu perwakilan Eropa.
Di sektor ekonomi Indonesia juga mengalami kerugian berkat batalnya menjadi tuan rumah. Apalagi dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan biaya miliaran rupiah untuk membangun fasilitas baru dan memperbaiki infrastruktur yang ada.
"Kerugian terbesar lainnya adalah gagalnya Timnas Indonesia U-20 untuk tampil. Mengingat kesempatan Timnas Indonesia untuk tampil di Piala Dunia didapat berkat terpilih menjadi tuan rumah," ujar Hafid.
Hafid pun ikut menggarisbawahi pernyataan resmi FIFA di paragraf kedua. Bahwa pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah secara tidak langsung mengarah pada kejadian kelam sepak bola Indonesia yang terjadi pada Oktober 2022. Dimana Tragedi Kanjuruhan membuat 135 orang meninggal dunia.
"Saya rasa, meskipun FIFA tidak pernah memberikan statement ke publik. Pastinya FIFA tetap mengamati perkembangan hukum dan penanganan Tragedi Kanjuruhan. Menurut saya bisa dikatakan negara ini tidak begitu serius menangani persoalan terkait,” tutur Hafid.
Selain itu, Hafid menuding FIFA menerapkan standar ganda jika kemudian pembatalan status tuan rumah karena isu Israel. Seharusnya, FIFA memiliki sikap tegas yang sama seperti saat Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar. Di mana pada saat itu Rusia melakukan invasi ke Ukraina, sehingga menjadi polemik dan juga isu global. Saat itu, Rusia dicoret oleh FIFA. Hal ini seharusnya juga dilakukan pada Israel yang jelas-jelas memulai konflik dengan Palestina.
“Saat itu FIFA memberikan sanksi kepada federasi Rusia dengan mendiskualifikasi timnas Rusia dan tidak memperbolehkan bendera, nama, hingga atribut Rusia terpajang di gelaran itu. Jadi jargon FIFA yang mengatakan sepak bola harus dipisahkan dengan politik itu hanya omong kosong,” kata Hafid.
Hafid berharap Pemerintah Indonesia Indonesia mengambil pelajaran dari keputusan ini. Dia menyebut keputusan pahit FIFA ini telah menjadi sanksi bagi dunia persepakbolaan Indonesia. Sudah saatnya pemerintah dan PSSI memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas sepak bola yang ada.
“Jangan jadikan sepak bola sebagai ajang berpolitik. Adapun jika nanti kembali ingin menjadi tuan rumah event olahraga besar, ada baiknya untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mencapai pemahaman yang sama. Sehingga peristiwa ini tidak terulang,” ujar Hafid.