Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana. (Foto: Dok. UMM.)
Malang: FIFA telah resmi membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 pada Rabu 29 Maret lalu. Keputusan itu diambil karena FIFA khawatir dengan keamanan di Tanah Air setelah adanya isu penolakan timnas Israel oleh sejumlah pihak.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana, berpendapat bahwa situasi itu memberi kerugian di berbagai sektor. Kemudian, Indonesia juga akan memiliki sejarah dan citra kurang baik di mata internasional.
"Karena nasi sudah menjadi bubur, maka kita harus tetap menghargai dan menghormati keputusan FIFA. Sayangnya, Indonesia akan selalu diingat sebagai negara yang gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20," kata Hafid, Jumat (31/3/2023).
Lebih lanjut, sektor ekonomi juga dikatakan Hafid bakal mengalami kerugian berkat batalnya Indonesia menjadi tuan rumah. Apalagi dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit, baik itu untuk membangun fasilitas baru maupun memperbaiki infrastruktur yang ada.
Satu hal lain menjadi kerugian terbesar adalah, timnas U-20 artinya batal berpartisipasi di ajang terbesar kedua FIFA tersebut. Sebab tadinya, Indonesia bisa menjadi peserta karena terpilih sebagai tuan rumah.
Hafid juga menggarisbawahi pernyataan resmi FIFA yang menyebutkan pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah secara tidak langsung mengarah ke Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Oktober tahun lalu.
"Saya rasa, meskipun FIFA tidak pernah memberikan statement ke publik, pastinya FIFA tetap mengamati perkembangan hukum dan penanganan kejadian Kanjuruhan. Menurut saya, bisa dikatakan negara ini tidak begitu serius menangani persoalan terkait," bebernya.
Sepak Bola Pisah dengan Politik Omong Kosong
Hal lain yang menjadi pembahasan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah adalah adanya penerapan standar ganda yang ditunjukkan FIFA. Hal tersebut sangat jelas terlihat pada Piala Dunia 2022 di Qatar. Saat itu, Rusia melakukan invasi ke Ukraina hingga menjadi isu global dan tetap kena sanksi FIFA.
"FIFA memberi sanksi kepada federasi Rusia dengan mendiskualifikasi timnasnya dan tidak memperbolehkan bendera, nama, hingga atribut Rusia terpajang di gelaran itu," terang Hafid.
Menurut Hafid, jika memang FIFA bersikap tegas kepada Rusia, seharusnya hal tersebut juga diberlakukan kepada Israel yang memulai konflik dengan Palestina. Namun, sikap itu tidak dilakukan karena FIFA didirikan juga oleh negara-negara barat.
"Jadi, jargon FIFA yang mengatakan sepak bola harus dipisahkan dengan politik itu hanya omong kosong,” tegas Hafid.
Terakhir, Hafid menyampaikan bahwa Indonesia harus mengambil pelajaran dari kegagalan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Sebab, momentum ini bisa saja menjadi sanksi bagi dunia sepak bola Indonesia dan titik balik agar pemerintah serta PSSI lebih berkomitmen memperbaiki kualitas sepak bola nasional.
"Jangan jadikan sepak bola sebagai ajang berpolitik. Adapun jika nanti kembali ingin menjadi tuan rumah event olahraga besar, ada baiknya untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mencapai pemahaman yang sama. Sehingga peristiwa ini tidak terulang," tutup Hafid.
Editor : Kautsar Halim