Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Amalia Nur Adibah. Medcom.id/Daviq Umar
Malang: Sebanyak 19 orang meninggal, 49 luka-luka, dan 1.085 warga mengungsi akibat kebakaran besar yang terjadi di kawasan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara pada 3 Maret 2023. Permukiman penduduk yang berada dalam radius 300 meter dari Depo Pertamina itu juga habis dilalap si jago merah.
Dalam kunjungannya ke posko pengungsian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan dua opsi solusi terkait permasalahan kebakaran maut itu. Kedua opsi tersebut, yaitu relokasi penduduk yang berada di sekitar Depo Pertamina Plumpang atau menggeser Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang ke daerah reklamasi.
Beberapa pakar tata kota berpendapat agar warga direlokasi atau melakukan revitalisasi. Pendapat yang sama disampaikan dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Amalia Nur Adibah.
Amalia, panggilan akrabnya, menyampaikan dari aspek biaya, merelokasi masyarakat menjadi solusi yang jauh lebih murah. Apalagi melihat Depo Pertamina Plumpang sudah terinstalasi dengan fasilitas penunjang yang lengkap, salah satunya tertanam pipa sedalam 5 km di kawasan sekitar.
“Selain itu, lokasi Depo Pertamina Plumpang sudah sangat strategis karena dekat dengan pelabuhan. Pun dengan aksesnya yang mudah ke jalan tol sehingga memperlancar distribus BBM,” kata Amalia kepada Medcom.id, Kamis, 9 Maret 2023.
Dosen asal Malang itu menyebut lokasi Depo Pertamina Plumpang sudah sesuai karena direncanakan sejak pembangunan induk Jakarta pada 1960. Memulai pembangunan pada 1972, Depo Pertamina Plumpang sudah ditetapkan di kawasan Tanah Merah.
Dulu, kawasan tersebut jauh dari permukiman penduduk dan masih berbentuk rawa. Namun, seiring pertumbuhan penduduk di Jakarta, kawasan disekitar depo mulai padat.
“Bisa dikatakan rumah penduduk sangat dekat dengan kawasan tersebut karena posisi tabung minyak dengan tembok pembatas tidak sampai 20 meter. Selain itu, yang membuat kebakaran semakin besar dan susah melakukan evakuasi adalah bangunan penduduk yang saling berhimpitan,” jelas Amalia.
Bangunan vital seperti Depo Pertamina Plumpang sebaiknya memiliki jarak aman atau buffer zone 500 meter sampai 1 km. Buffer zone di sini sangat penting karena selain untuk mencegah radiasi yang ditimbulkan dari tabung minyak, juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran.
“Berdasarkan peraturan yang ada, jarak aman antar rumah atau pemukiman adalah 70/30. 70 persen kawasan terbangun dan 30 persen lahan kosong untuk beraktivitas,” ujar dia.
Amalia menilai pengelolaan tata ruang di sekitar Depo Pertamina Plumpang masih lemah. Dia menyebut banyak pihak yang mesti bertanggung jawab. Tidak hanya pihak Pertamina, pemerintah juga kurang tegas menyikapi peraturan yang sudah dibuat.
“Berdasarkan yang saya baca, rencana tata ruang wilayah kawasan tersebut mengalami perubahan fungsi guna lahan. Di mana awalnya merupakan zona hijau kemudian berubah menjadi kuning atau artinya kawasan pemukiman,” ujar dia.
Amalia menyebut apabila relokasi ini berhasil, pihak Pertamina dan pemerintah harus memperbaiki kembali tata wilayah di kawasan tersebut. Keberhasilan penataan Depo Pertamina Plumpang akan menjadi role model bagi kawasan vital sejenis di Indonesia seperti perusahaan penghasil tekstil atau penghasil garam.
“Seperti yang diketahui bahwa Depo Pertamina Plumpang ini merupakan salah satu aset strategis nasional yang dilindungi dan diperhatikan khusus oleh pemerintah. Oleh karena itu, baik pemerintah pusat, daerah dan Pertamina harus bekerja sama merelokasi warga ke lokasi baru dengan menyediakan berbagai fasilitas. Pun dengan pertimbangan peraturan yang ada serta solusi yang adil,” ujar Amalia.