JAKARTA – Islam membolehkan golongan atau kelompok tertentu untuk tidak melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan apabila puasa itu bakal mengakibatkan masyaqqah atau kesulitan.
Dengan demikian, Islam memberikan rukhsah atau dispensasi bagi mereka yang berat untuk melaksanakan ibadah tahunan tersebut. Orang yang diperbolehkan tidak melaksanakan ibadah puasa sejatinya bukan hanya ibu hamil atau menyusui.
Ada golongan lain yang juga dibolehkan tidak menjalankan kewajiban berpuasa degan menggantinya di hari lain. Namun jika mengganti puasa di hari lain tak memungkinkan, maka dapat dengan membayar fidyah satu mud (kurang lebih 6 ons beras) untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Mengupas tentang hal ini, JawaPos.com mewawancarai Muhammad Arif Zuhri, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang.
Siapa saja yang boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah?
Kategori orang yang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan dan menggantikannya dengan membayar fidyah adalah orang yang amat berat untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadan. Dalam Al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah ayat 184 disebut “yuthiquunahu” (mereka yang amat berat menunaikan puasa).
Masuk dalam kategori ini adalah orang yang tua renta yang memang sudah tidak sanggup lagi berpuasa, orang yang sakit menahun/berterusan, perempuan hamil, perempuan menyusui, juga pekerja berat yang berterusan di mana ia tidak bisa meninggalkan kerjaannya karena merupakan sumber utama nafkah keluarga.
Siapa saja yang harus bayar fidyah dan sekaligus mengganti puasa?
Persoalan ini tidak disepakati oleh para ulama. Pertama, bahwa yang wajib fidyah sekaligus mengganti puasa yaitu ibu hamil atau menyusui yang khawatir jika berpuasa akan menyebabkan bayi yang dikandung atau disusui tersebut akan mendapatkan ketidakbaikan. Jadi, bukan khawatir akan dirinya, tetapi khawatir akan keselamatan orang lain.
Selain itu, juga orang yang belum lunas mengganti puasa Ramadan-nya sedangkan Ramadan baru telah tiba. Ketika selesai Ramadan baru ini, maka ia wajib membayar fidyah dan mengganti puasa Ramadan tahun sebelumnya yang masih belum dilunasi. Kedua, ada pula ulama yang berpendapat bahwa jika sudah membayar fidyah, maka tidak perlu lagi ditambah dengan mengganti puasa.
Begitupun sebaliknya, jika masuk kategori mengganti puasa, maka tidak ada keharusan untuk membayar fidyah. Pendapat ini menekankan pada salah satu bentuk saja, bayar fidyah ataukah mengganti puasa.
Paling tidak, dua pendapat itu yang ditemukan. Begitulah dalam masalah fikih, tidak dapat dihindari adanya perbedaan pendapat. Kedua-dua pandangan itu benar adanya. Maka bagi seseorang, dapat memilih salah satu dari dua pendapat tersebut. Namun, jika saya ditanya memilih yang mana, maka saya lebih condong ke pendapat yang menyatakan bahwa jika sudah membayar fidyah maka tidak ada kewajiban mengganti puasa. Sebabnya ada satu hadis Nabi yang menyebut bahwa Allah telah membebaskan kewajiban puasa ramadhan bagi perempuan yang hamil dan menyusui: إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah SWT telah memberi keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir dan keringanan mengerjakan separuh shalat (qashar), juga memberi keringanan untuk tidak berpuasa bagi perempuan yang hamil atau yang sedang menyusui”.
Ketentuan ibu hamil dan ibu menyusui yang tidak berpuasa?
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa ibu hamil dan ibu menyusui yang tidak berpuasa baik disebabkan kekhawatiran akan keselamatan dirinya maupun kekhawatiran akan keselamatan bayi yang dikandung atau anak yang disusui, maka ketentuannya hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa perlu mengganti puasa.
Adapula ulama yang berpendapat membedakan antara kekhawatiran akan keselamatan diri sendiri atau orang lain. Jika ibu hamil atau ibu menyusui itu tidak berpuasa karena kekhawatiran akan keselamatan dirinya sendiri, maka ia hanya wajib membayar fidyah saja tanpa perlu mengganti puasa.
Sedangkan jika ibu hamil atau ibu menyusui itu tidak berpuasa lantaran kekhawatiran akan keselamatan orang lain, dalam hal ini kekhawatiran akan keselamatan bayi dalam kandungannya atau anak yang disusui, maka ia wajib membayar fidyah sekaligus mengganti puasa.
Karena ini sifatnya perbedaan dalam masalah fikih yang sama-sama memiliki landasan/dalil, maka kita dipersilakan untuk mengikuti salah satu pendapat di atas. Sekali lagi, kalau saya ditanya memilih pendapat yang mana, maka saja jawab saya lebih condong pada pendapat yang hanya membayar fidyah saja tanpa perlu mengganti puasa. Namun dengan tidak menganggap salah pendapat yang berbeda.
Jika lupa bayar fidyah sampai lewat ke bulan Ramadhlan berikutnya, apakah berdosa?
Salah satu bentuk hal yang dimaafkan adalah lupa. Jika ini karena lupa, maka tidak dicatat sebagai suatu perbuatan dosa. Sebagaimana sabda Nabi bahwa pena diangkat dari tiga perkara:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْخَطَأَ وَ النِّسْيَانَ وَ مَااسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ.
“Sesungguhnya Allah telah membiarkan (memaafkan) kesalahan umatku disebabkan ketidaksengajaan, lupa, dan dipaksa/keterpaksaan”.
Namun, jika tidak membayar fidyah hingga tiba Ramadan berikutnya itu dilakukan dalam keadaan sadar, sengaja, dan dalam kondisi mampu untuk membayar, maka tentu ini merupakan suatu kelalaian dan dapat berdampak pada dosa akibat sengaja melalaikan itu.
Keedua-duanya (baik karena lupa ataupun sengaja) tetap memiliki tanggungan untuk melunasi pembayaran fidyah meski Ramadan berikutnya telah tiba. Dapat dilakukan kapan pun ia ingat (bagi yang lupa) dan kapan pun ia sadar atau mendapat hidayah (bagi yang sengaja lalai). (*/jpg)