Judul : Tuhan Baru Masyarakat Cyber di Era Digital
Penulis : Nurudin
Penerbit : Aditya Media Publishing
Tahun Terbit : Pertama November, 2012
Jumlah Halaman : 238 halaman
ISBN : 978-602-9461-40-4
Judul buku ini cukup kontroversial. Facebook sebagai tuhan? Ah, masak ada mungkin begitu fikir kita. Mari nikmati penjabaran ini. Dalam sajian pengawalnya Nurudin, penulis buku ini, mengemukakan. Kita akan mudah mendapatkan orang membuat status facebook, ngetweet, dan mengupload foto-foto yang dianggapnya keren dalam akun-akun jejaring sosial yang dimilikinya. Mereka menganggap semua itu adalah eksistensi dirinya. Menurut Erik Qualman, orang yang berperilaku demikian disebut dengan braggadocian behavior (braggart berarti pembual atau penyombong) (hal iii).
Bukan tanpa dasar pula Nurudin menyebut facebook sebagai tuhan baru. Dalam realitasnya Tuhan dalam arti monoteisme adalah tempat bergantung manusia. Dialah sesembahan dan tujuan akhir manusia untuk mencari tujuan hidup. Tuhan akan dijadikan sebagai sebab utama (causa prima). Inilah sebagai tempat bergantung manusia.
Jika ada sebagian manusia yang menjadikan nafsu sebagai perilaku sehari-harinya, maka bisa dikatakan dia menjadikan nafsu sebagai tuhannya. Ada pula manusia yang menjadikan uang sebagai tuhan. Ketika manusia selalu mengukur sesuatu dengan uang, semua hidupnya hanya berorientasi uang (halaman 167).
Nah, hubungan Facebook sebagai tuhan baru yakni ketika manusia itu sangat tergantung dengan facebook. Coba kita perhatikan, bagi orang yang sudah tergantung dengan facebook, maka yang pertama kali yang dia ingat ketika bangun tidur adalah facebook. Terlebih lagi mereka akan tidak tahan ketika seharian saja tidak membuka facebook, bahkan sejam saja tidak membuka facebook mungkin akan pusing sendiri melebihi pusingnya dengan masalah kehidupannya yang lain (168-169).
Yang akan menguatkan perkataan Nurudin yakni kita mudah pula menemukan fenomena facebook menjadi tempat berkeluh apapun itu. Saat sakit, saat capek, sampai saat diputus pacar dan juga berdoa kepada tuhan melalui facebook. Nah, tak ubahnya ini dengan penghambaan kepada facebook bukan? Apakah tuhan akan mendengar doa melalui facebook? Sewajarnya tak perlu doa itu dipamerkan atau melalui status di facebook. Bukannya doa akan terkabul namun malah menjadi syirik karena telah menanggap facebook sebagai tuhan (halaman 170).
Pembahasan tentang tuhan baru sebenarnya hanyalah satu tulisan dalam buku ini. Buku ini memang buku yang berisi kumpulan tulisan Nurudin yang pernah dimuat di media massa atau hanya dia post di blog pribadinya. Karena memang Nurudin adalah Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang. Maka, tulisan-tulisannya dalam buku ini banyak yang bersangkut-paut dengan media massa.
Kumpulan tulisan dalam buku ini terbagi dalam 5 bagian. Sayangnya ada kesalahan dalam pengantar penulis (v), dalam pengantar tertulis terdiri dari 3 bagian saja, padahal yang benar terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama membahas tentang hidup dengan tetangga bernama media massa. Bagian ini membahas antara lain tentang kampanye pemilihan Presiden di televisi, tentang opini publik tentang perseteruan Cicak vs Buaya, Second Reality media massa pun dibahas dalam bagian ini. Inti pembahasan ini, saat ini kehidupan kita bertetangga dengan media massa, maka mau tak mau hidup kita akan bersinggungan dengan namanya media.
Bagian kedua membahas pergeseran media massa. Bagian ini akan dikemukakan bagaimana seharusnya media massa ini membuat keharmonisan di masyarakat, tetapi kenyataannya justru menjadi pemecah dan memperlebar masalah. Media massa yang harusnya mencerdaskan malah menjadi sumber kebodohan dan pengikis sikap kritis masyarakat. Contohnya, kiprah televisi dalam meruntuhkan budaya baca (halaman 67).
Bagian ketiga membahas yang menjadi judul di atas, media sosial dan munculnya revolusi komunikasi. Seperti pembahasan di atas di dalamnya berisi tentang ketika media sosial menjadi tuhan dan juga media sosial sebagai sarana kemenangan revolusi di Timur Tengah (halaman 182).
Bagian keempat membahas tentang media massa dan kepentingan yang mengitarinya. Tentu saja media Indonesia yang saat ini dalam keadaan bebas kebablasan, pasti adanya sarat dengan kepentingan. Entah kepentingan pemerintah atau kepentingan politik pengusaha yang memilikinya. Ini akan lebih terlihat ketika menjelang pemilu contohnya, media massa terutama televisi akan jadi lahan kepentingan (halaman 109).
Bagian kelima sekaligus terakhir membahas tentang media massa yang ideal saat ini yang ternyata omong kosong. Di dalamnya berisi tulisan antara lain tentang propaganda media massa Amerika dan memberikan social punishment terhadap televisi dengan menekan tombol off ketika yang ditayangkan tidak bermutu dan tidak memberikan manfaat kecuali kebodohan (halaman 225).
Ada kata yang terlewat oleh editor buku ini padahal terdapat di awal (pengantar penulis) terdapat kata “kemundulan” yang seharusnya “kemunduran.” Terlepas dari kesalahan yang beberapa saya sebutkan di atas, buku ini tetap layak Anda baca. Guna memperluas pengetahuan dan memiliki pemahaman tentang media literasi. Karena dalam buku ini Nurudin tak hanya mengkritik namun memberikan solusi dalam tiap kritikannya dengan bijak.
Peresensi : Muhammad Rasyid Ridho
Ketua Journalistic Club Ikom UMM dan anggota Forum Lingkar Pena Malang Raya.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM.