Ilham Akbar Habibie, putra pertama mantan Presiden BJ Habibie, akhirnya terpilih dan meraih suara terbanyak dalam pemilihan Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) pada Muktamar V di Bogor, 6 Desember 2010.
Ilham memperoleh 410 suara, mengungguli 10 kandidat lain, Nanat Fatah Natsir (Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Bandung), Marwah Daud Ibrahim (Presidium 2005–2010), Priyo Budi Santoso (Ketua DPP Partai Golkar), dan Sugiharto (mantan Menteri BUMN). Kandidat lain yang gagal masuk presidium adalah Zulkifli Hasan (Ketua DPP PAN yang juga Menteri Kehutanan RI), Azyumardi Azra (Ketua Presidium ICMI 2005–2010), Sri Astuti Buchori, TA Sanny, Zoerain Dzama, dan Musaad.(SINDO,7/12/2010). Di tangan Ilham, banyak yang berharap ICMI tak lagi “mati suri”. Inisiatif-inisiatifnya ditunggu oleh tidak saja umat Islam yang mayoritas di negeri ini, tetapi juga segenap komponen bangsa. Karena ICMI adalah organisasi “intelektual cendekia”, maka tentu saja kegairahan intelektualitaslah yang penting.
Dia harus mampu menyodorkan isu-isu menarik, mendasar dan strategis, mewacanakannya, dan bergerak menyusun agenda aksi yang nyata. ICMI harus inspiratif di segala bidang dan jangan terkesan terlampau politis. Jelas Ilham bukan tokoh politik. Mudah-mudahan dia punya cukup waktu dalam membawa gerbong ICMI dan menggairahkannya, mendialogkan kembali apa peran dan aksi nyata muslim cendekiawan dalam dinamika dan kompleksitas umat dan bangsa detik-detik ini.
ICMI bisa memfungsikan diri kembali sebagai terminal dan resultan gagasan-gagasan, menjadikan dirinya “rumah” yang nyaman bagi kalangan intelektual Islam yang belakangan ini terkesan “jarang bersilaturahmi” secara gagasan— karena mungkin terlalu sibuk berbisnis dan berpolitik. Ilham harus membuat ICMI menjadi menarik, bukan malah menjadikan ICMI ke pojok wilayah yang semakin “nyaris tak terdengar”. Selain itu, dia harus bisa lepas dari bayang-bayang kebesaran ayahnya, BJ Habibie, tapi melanjutkan warisan intelektualitasnya.
Blantik Sapi
Setahun setelah organisasi ini berdiri, saya kuliah Universitas Muhammadiyah Malang dan bercengkerama dengan salah satu sosok penting yang terlibat dalam pendiriannya,A Malik Fadjar. Saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan turut merasakan kegairahan intelektual yang dinyalakan oleh ICMI pada awal-awal pendiriannya di kota tempatnya didirikan. Saya memang tak terlibat aktif di organisasi ini, tapi selalu berusaha menyimak perkembangan dan mengajukan pertanyaan: apa yang menarik dari ICMI sekarang? Ketika Muktamar V ICMI diselenggarakan, saya buka kliping lama dan ketemulah makalah budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pada sarasehan cendekiawan muslim di Universitas Brawijaya, 1990 itu.
Cak Nun memaparkan konsep kecendekiaan menurut Alquran. Paparannya serius. Setidaknya terkandung pesan, tugas muslim cendekia itu berat dan karenanya harus sungguh-sungguh. Cak Nun mengusulkan frase muslim cendekiawan,bukan cendekiawan muslim. Subyeknya adalah muslim. Muslim itu ada yang cendekiawan atau bukan cendekiawan. Muslim yang predikatnya cendekiawan tentu “beban amanatnya” jauh lebih berat ketimbang yang bukan cendekiawan.Walau begitu, Cak Nun akan menerima apa saja nama organisasi cendekiawan yang akan didirikan itu, termasuk apabila tetap memakai cendekiawan muslim.
Menurut Cak Nun, jangankan “cendekiawan muslim”, mau mendirikan ikatan blantik sapi pun dia akan menerima sejauh organisasi tersebut dimaksudkan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Di tengah kritik sentimen primordial, organisasi itu kemudian hadir, tetap bernama ICMI, bukan IMCI. Cendekiawan muslim tentu bukan “blantik sapi”dalam guyonan Cak Nun. Cendekiawan tentu lebih mengedepankan nilai, etos, dan cara pandang yang luas multiperspektif, ketimbang blantik atau makelar yang pragmatis-transaksional. Yang diharapkan dari cendekiawan adalah produk pemikirannya, bukan semata-mata figurfigurnya. ICMI memang memerlukan “pendekar-pendekar”, tetapi jauh daripada itu adalah “kesaktiannya”, kemanfaatannya.
Defisit Tokoh
Dalam perkembangannya, merujuk pada uraian legendaris ICMI BJ Habibie, pemaknaan politis atasnya tidak dapat dilepaskan. ICMI menjadi simbol prestisius politik kelas menengah muslim Indonesia, dari yang semula dirasakan di pinggiran ke tengah. Jargon-jargon “santri-isasi priyayi” mengemuka. Dekade 1990-an tercatat sebagai titik balik “politik muslim” atau kelas menengah muslim di Indonesia. Kegairahan “politik” masih terasa diimbangi kegairahan “intelektual” saat itu, dengan aktivitas “sayap intelektual” CIDES yang aktif memproduksi wacana-wacana tertulis yang bermutu.
Tetapi, dalam perkembangannya, seiring dengan menguatnya fenomena ketergantungan dan “personalisasi organisasi”, ICMI “menurun”. Dinamika politik memang ingar-bingar setelah 1998. ICMI, dan kelihatannya juga ormas-ormas Islam lain, “tertimpa politik”. Kegairahan politik meningkat, tetapi sayangnya tak diimbangi dengan kegairahan intelektual. Nurcholish Madjid, yang berkontribusi memberikan catatan semacam nilai-nilai dasar ICMI, kian terkesan tidak begitu at homedi dalam organisasi cendekiawan yang “penuh sesak” oleh para birokrat dan politisi itu. Demikian pula tampaknya dengan Imaduddin Abdurrahim, yang saat itu kian uzur. Tokoh lain seperti Adi Sasono, Umar Juoro, dan yang lain tampak tak kuat menahan beban-beban alamiah yang membuat ICMI dan CIDES merosot aktivitasnya.
Maka lantas terkesan bahwa ICMI adalah organisasi cendekiawan yang sedang “defisit cendekiawan”. Persoalan yang dihadapi ICMI sendiri kian kompleks. Maka, sebagai wadah, ia perlu tampil semenarik mungkin. Struktur insentif apalagi yang dapat ditawarkan organisasi ini kepada para muslim cendekiawan? Yang jelas, bukan lagi “kekuasaan”. Karenanya sesungguhnya dapat dipahami, mengapa ICMI “menurun”. ICMI lahir karena “topangan kekuasaan”, walaupun tak sepenuhnya. Ketika tak ada lagi “topangan kekuasaan”, maka demikianlah konsekuensinya. ICMI kini berada di era “kompetisi politik bebas”.
Para tokohnya dari beragam partai politik. Problem ICMI dalam konteks ini nyaris sama dengan organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai ormas pemuda yang plural, yang para tokohnya juga dari beragam partai politik. Tidak menjadi soal, kalau realitas objektifnya demikian. Tapi karena telanjur memilih predikat cendekiawan muslim, maka sesungguhnya masyarakat atau umat, masih sangat berharap bahwa “bara intelektual” ICMI tetap lebih mengedepan.
Bara Intelektual
Inisiatif-inisiatif muslim cendekiawan dalam menyalakan “bara intelektual” alias apa yang dipopulerkan Bung Karno sebagai “api Islam” itu tetap ditunggu. ICMI bisa mewadahi potensi-potensi kreatif umat secara inklusif, bukan korporatis-eksklusif. ICMI harus menginisiatifi berbagai dialog kultural dan peradaban dalam arti yang luas. Harus proaktif. ICMI harus dinamis karena hakikat cendekiawan itu sendiri adalah dinamis dalam berpikir. Berpijak dari pengalaman, sebagai kekuatan masyarakat madani, ICMI harus mandiri dari negara (state).
ICMI harus tetap menjadi kekuatan independen-kritis, selayaknya citra yang melekat pada sosok cendekiawan. ICMI tidak boleh turut dalam politik praktis, kecuali terus-menerus mewacanakan politik nilai atau nilai-nilai islami dalam berpolitik. Singkat kata, ICMI harus “kebul-kebul” dengan produk-produk intelektualitasnya, dengan agenda-agenda aksi nyatanya, untuk umat, untuk bangsa. Akhirnya, selamat bekerja, Ilham Akbar Habibie. Inisiatif-inisiatifAnda ditunggu. Wallahua’lam.(*)
M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Sumber : http://suar.okezone.com/read/2010/12/16/58/403972/58/inisiatif-inisiatif-muslim-cendekiawan