Wahyudi Kurniawan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (foto: Dok Humas UMM)
Malang (pilar.id) – Ancaman terorisme telah merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dan dalam kejadian mengkhawatirkan, paham terorisme telah berhasil menyusup ke dalam struktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Fakta ini ditegaskan dengan penemuan seorang pegawai BUMN yang diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan teror ISIS. Pertanyaan muncul mengenai peran regulasi hukum dalam mencegah kasus semacam ini.
Dalam konteks ini, Dr. Wahyudi Kurniawan, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menyoroti peran penting aturan hukum dalam menangani ancaman terorisme. Dikenal akrab dengan sebutan Li Yudi, ia mengungkapkan bahwa para pelaku terorisme memiliki jaringan yang berpotensi merusak sistem yang ada dan menciptakan ancaman yang serius.
Li Yudi mengungkapkan, “Kejahatan terorisme cenderung bersifat tersembunyi, dan tidak menutup kemungkinan untuk merasuki berbagai sektor, termasuk BUMN.”
Terorisme, secara definitif, merujuk pada tindakan kejahatan yang melibatkan ancaman dan tindakan kekerasan yang bertujuan menciptakan suasana ketakutan dan teror, bahkan hingga merusak atau mengorbankan nyawa manusia. Menurut pandangan Li Yudi, terorisme adalah bentuk ancaman yang sulit terlihat secara kasat mata dan sering memerlukan investigasi mendalam.
Dalam kerangka hukum, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sebenarnya telah memberikan landasan bagi penanganan terorisme. Undang-undang ini mencakup tidak hanya upaya pemberantasan, tetapi juga aspek pencegahan.
Li Yudi menyatakan, “Saya berpendapat bahwa peraturan yang ada saat ini sudah memadai dan mencakup berbagai aspek. Meskipun demikian, regulasi tersebut perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan situasi, karena bisa saja dalam 10 hingga 20 tahun mendatang akan muncul bentuk baru dari terorisme yang perlu diantisipasi.”
Meskipun regulasi telah mengatur sejumlah aspek, masih terdapat celah hukum yang perlu diatasi. Salah satunya adalah bagaimana menangani pelaku terorisme dengan tetap mematuhi prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Li Yudi menegaskan perlunya pertimbangan apakah regulasi yang ada masih sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai HAM.
“Penegak hukum harus senantiasa mematuhi prinsip HAM. Meskipun pelaku terorisme memiliki kejahatan yang serius, tetap ada prosedur operasional standar yang harus diikuti. Setiap individu memiliki hak asasi yang tak terhingga sejak lahir, termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Namun, jika ada ancaman langsung, penegak hukum memiliki kewenangan untuk bertindak,” tegasnya.
Li Yudi menekankan pentingnya pencegahan terorisme sejak dini. Edukasi nilai-nilai positif sejak usia dini hingga penyelenggaraan beragam kegiatan yang mengajak masyarakat untuk menjauhi terorisme menjadi langkah penting. Tidak hanya penegak hukum, tetapi juga semua pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga institusi pendidikan, diharapkan ikut berperan aktif.
“Upaya edukasi dan pemahaman yang kuat harus diberikan kepada masyarakat, dengan tetap mengedepankan ideologi Pancasila dan keyakinan pribadi. Keterlibatan aktif masyarakat dan peran pemerintah dalam memperkuat ideologi Pancasila harus selalu menjadi fokus,” tutupnya. (ipl/hdl)