Dari Talkshow RBC Institute: Setelah Kejadian Kanjuruhan, Saya Tak Bisa Makan Tiga Hari

Author : Humas | Friday, October 21, 2022 12:42 WIB | pwmu.co -

Suasana RBC Talkshow bertajuk, Bisakah Korban Tragedi Kanjuruhan Melakukan Class Action pada Pemerintah dan Polisi? Senin (17/10/2022). Dari Talkshow RBC Institute: Setelah Kejadian Kanjuruhan (Azhar Syahida/PWMU.CO)

Dari Talkshow RBC Institute: Setelah Kejadian Kanjuruhan, Saya Tak Bisa Makan Tiga Hari, Liputam Azhar Syahida, contributor PWMU.CO Kabupaten Malang

PWMU.CO – RBC Institute A Malik Fadjar bekerja sama dengan Fantasista menyelenggarakan RBC Talkshow bertajuk, Bisakah Korban Tragedi Kanjuruhan Melakukan Class Action pada Pemerintah dan Polisi? Senin (17/10/2022). Berbagai cerita dan pandangan mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan di markas RBC Institute Jalan Perumahan Permata Jingga Kav 12-13 Kota Malang, Jawa Timur.

“Setelah kejadian itu, saya tidak bisa makan selama tiga hari,” kata Deni Pangestu, salah satu narasumber.

Deni menuturkan ia hari itu masuk melalui gate 13 sekitar menit 80. Tetapi karena penuh sesak, ia memutuskan keluar dan masuk melalui gate 12 di tribun penonton yang berdiri. Ketika masuk, ia melihat para pemain Arema sudah berdiri melingkar di tengah lapangan. Tidak berselang lama, kepulan asap gas air mata membumbung. “Rasanya, di mata perih, kalau terkena hidung langsung sesak. Baunya seperti belerang,” terangnya.  

Deni, yang hari itu datang ke stadion sendirian, mengaku tidak bisa tidur berhari-hari, “(Saya) terbayang-bayang suara anak-anak kecil menjerit.”  

Trauma psikologis ini tidak hanya dialami oleh Deni. Tapi juga mayoritas Aremania yang ketika itu berada di stadion, lebih-lebih mereka yang bersama keluarga, anak-anak, dan teman sejawat. Dalam konteks ini, kita perlu fokus pada penanganan korban. 

“Perspektif korban harus diutamakan,” sebagaimana disampaikan oleh Agus Muin, salah satu anggota Tim Gabungan Hukum Aremania di RBC Talkshow.    

Agus menyebut, perspektif korban ini perlu diutamakan untuk melihat sebetulnya chaos yang terjadi antara Aremania dan aparat keamanan itu adalah bentuk provokasi atau reaksi? “Untuk itu, kita perlu melihat kejadian ini secara menyeluruh, harus dilakukan investigasi secara mendalam,” terangnya.  

Sebab, sambungnya, jangan sampai kejadian ini menjadi konflik yang berkelanjutan, karena dibawa ke mana-mana. Maka itu, ruang-ruang dialog, kerja sama, kejujuran, dan keterbukaan mesti dibangun untuk membantu memulihkan luka psikologis dan upaya menuntut keadilan oleh keluarga korban atas tragedi ini.   

“Pemerintah perlu melihat kejadian ini dalam perspektif jangka panjang. Apakah tragedi ini membawa dampak negatif secara psikologis pada kelompok masyarakat yang lebih luas? Apakah ada kemungkinan keluarga korban akan mengalami gangguan psikis akibat kejadian ini, dan merusak masa depannya? Hal-hal semacam ini perlu dipikirkan oleh pemerintah,” terangnya.  

Termasuk, lanjut dia, efek-efek kesehatan fisik. Misalnya, Agus menyebut bahwa beberapa korban yang ia dampingi berpotensi mengalami kebutaan permanen akibat iritasi mata yang disebabkan oleh gas air mata.  

Perlindungan Korban 

Di lapangan, menurut anggota Tim Gabungan Hukum Aremania itu, ada persoalan tambahan yang dialami korban. Misalnya, soal pembiayaan di rumah sakit. Agus menuturkan bahwa per 11 Oktober Pemkab Malang sudah tidak lagi menanggung biaya pengobatan korban, sehingga para korban yang ingin berobat harus mengeluarkan biaya sendiri. 

“Padahal, di rekomendasi TGIPF ada rekomendasi untuk menjamin kesehatan fisik dan psikis korban,” ujarnya.   

Wahyudi Kurniawan, pengajar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang juga menjadi salah satu narasumber di RBC Talkshow, mempertanyakan soal bantuan bagi keluarga korban. “Santunan-santunan ke keluarga korban apa sudah sampai? Ini janji, lho, dari pemerintah. Kalau belum sampai, kapan?” ucapnya.  

Sebagai informasi, pemerintah pusat, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan (3/10/2022) bahwa akan memberikan santunan sebesar Rp 50 juta rupiah untuk keluarga korban meninggal dunia.Sementara Pemerintah Provinsi Jawa Timur berjanji memberikan Rp 10 juta rupiah untuk keluarga korban yang meninggal dan Rp 5 juta untuk korban luka berat.  

Untuk melakukan perbaikan jangka panjang, tentu upaya perbaikan manajemen sepakbola di Indonesia perlu dilakukan secara struktural. Secara etis, misalnya, rekomendasi TGIPF menyebutkan bahwa PSSI harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini. Maka itu, perlu perubahan struktural ditubuh penyelenggara kegiatan untuk menyusun sistem-sistem yang mapan, agar tragedi memilukan ini tidak terjadi lagi.  

Dalam konteks penyelenggaraan kegiatan, apakah kita memiliki SOP pengaturan sebuah even yang melibatkan massa dalam jumlah besar? Wahyudi menyebutkan, misalnya, untuk Stadion Kanjuruhan, “Apakah ada SOP-nya? Bagaimana kalau terjadi chaos?”  

Ilham Zada, jurnalis bola, yang hari itu menjadi host kegiatan RBC Talkshow, mengatakan, “Kita tidak memiliki konsep hukum secara sistematis untuk menanggulangi agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi.” Menurutnya, undang-undang ini menjadi penting, misalnya, jika stadion tidak layak, “Lalu, undang-undangnya mana?” ucapnya.     

Lebih lanjut, menurutnya, jika melihat apa yang dilakukan pemerintah Inggris atas tragedi Hillsborough di Inggris pada 15 April 1989, Indonesia perlu memiliki regulasi yang menyeluruh mengenai stadion, suporter, federasi, dan penyelenggara pertandingan.   

Undang-undang mengenai persepakbolaan ini menjadi sangat penting untuk membangun persepakbolaan Indonesia menjadi lebih baik. Tentu saja, juga untuk menghindari tragedi memilukan Kanjuruhan, yang tidak hanya menjadi catatan kelam bagi sepakbola di Indonesia, tapi juga dunia. 

“Kalau tidak diselesaikan secara sistemis, kejadian seperti ini bisa terjadi lagi. Pun juga harus ada political will dari pemerintah,” kata Ainur Rohman, jurnalis bola yang juga menjadi host. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Harvested from: https://pwmu.co/261706/10/21/dari-talkshow-rbc-institute-setelah-kejadian-kanjuruhan-saya-tak-bisa-makan-tiga-hari/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: