PWMU.CO – Fear of Missing Out (Fomo) atau kecemasan akibat takut ketinggalan tren tertentu, ternyata ada manfaatnya. Hal ini diungkapkan Abdus Salam, SSos., MSi, dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Sebagai seorang pakar Sosiologi, ia menilai manusia sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk diakui oleh orang lain. “Jika dari perspektif sosiologi, ini termasuk dalam teori achievement mendorong seseorang untuk meningkatkan kualitas diri,” terangnya, dalam keterangan tertulis yang diterima PWMU.CO Rabu (24/1/2024).
Menurut Salam Fomo dapat berperan aktif dalam mendorong individu untuk terlibat lebih aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, juga memotivasi seseorang untuk mengikuti perkembangan terkini dalam berbagai bidang. Sehingga, menciptakan iklim yang terus berinovasi dan mengembangkan minat baru.
Sebagai contoh nyata, ia mencatat salah satu sisi positif dari Fomo adalah tren penjualan di TikTok. “Ini adalah momentum berjualan yang dapat menunjang perekonomian, masyarakat dapat berkreasi dengan bebas melalui tren ini. Ini menjadi fakta sosial yang tidak bisa dihindari,” paparnya.
Selain itu, Fomo dapat mengubah paradigma sosial. Hal ini dikarenakan Fomo menjadikan masyarakat lebih terbuka terhadap keberagaman dan perkembangan budaya. Dalam suatu kegiatan atau acara tertentu, masyarakat cenderung untuk berpartisipasi dalam aktivitas bersama, menciptakan jejaring sosial yang lebih kuat. Fomo juga berperan dalam memotivasi individu untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek sosial dan amal.
“Ketika seseorang merasa terdorong untuk tidak ketinggalan terhadap upaya kemanusiaan atau proyek-proyek sosial, ini dapat menciptakan gelombang positif solidaritas dan kontribusi masyarakat. Bahkan fenomena ini juga dapat menaikkan popularitas seseorang. Contohnya pendakwah di Madura yang tiba-tiba viral karena aksi dakwahnya yang dilakukan di sosial media,” sebutnya.
Meskipun demikian, Salam juga memberi peringatan terkait dampak negatif yang ditimbulkan dari Fomo dalam masyarakat. Fenomena ini tak lepas kaitannya dengan perkembangan teknologi, termasuk gawai. Hal ini tentu akan merenggangkan hubungan antar sesama dan menimbulkan kesenjangan sosial.
“Saat ini citra dan fakta susah dibedakan, mengingat semua kegiatan dengan gampangnya di-posting di media sosial. Fomo itu tidak dapat dihindari, tetapi tetap harus diimbangi dengan pola interaksi sosial seperti aktif berkontribusi dan berpartisipasi pada kegiatan di lingkungan masyarakat,” ujarnya. (*)