PWMU.CO – Survei politik UMM menjadi bahasan menarik dalam Bincang Politik Nasional dan Rilis Hasil Survei Opini Publik Jawa Timur.
Acara itu diadakan oleh Laboratorium Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (10/8/2023).
Survei politik UMM dilakukan di Jawa Timur dan diperoleh dari responden yang beragam.
Hadir sebagai pembicara peneliti BRIN Prof Dr R. Siti Zuhro MA, pengamat politik dan Wakil Rektor Universitas NU Surabaya Prof Dr Kacung Maridjan, dan dosen UMM Dr Asep Nurjaman MSi.
Diskusi juga mengundang sederet perwakilan partai politik, seperti PDIP, PKB, Demokrat, PKS, dan lainnya.
Siti Zuhro mengatakan, semua survei termasuk survei politik boleh salah, tetapi tidak boleh bohong.
Zuhro mengatakan, dia tidak begitu menyukai survei politik. Apalagi lembaga-lembaga survei seringkali tidak transparan dengan siapa yang mendanai.
Tapi dia mengatakan tertarik dengan hasil survei Laboratorium Politik UMM karena ternyata respondennya didominasi oleh warga Nahdatul Ulama (NU).
”Sebagian besar responden seakan ingin bilang agar Muhammadiyah juga harus turun gunung dan seharusnya bisa tampil di wilayah politik. Belakangan muncul nama Pak Muhadjir Effendy yang digadang-gadang jadi pilihan calon wakil presiden,” katanya.
Pak Muhadjir, sambung Zuhro, bisa dikatakan salah satu sosok pemimpin di Jatim. Maka wajar jika dalam survei ini, namanya cukup dikenal.
Sayangnya, lanjut dia, Muhadjir terlalu kalem. Harusnya bisa lebih lincah. Zuhro menilai, Muhammadiyah memiliki banyak SDM yang bisa bersaing, tetapi tidak muncul nama di kancah politik. Menurutnya, hasil survei ini dapat mendorong Muhammadiyah untuk segera tampil dan berkontribusi.
Berdasarkan data hasil survei, suara calon presiden nyatanya tidak ditentukan oleh partai. Namun tergantung sosok yang bersangkutan.
Menurut Zuhro, dalam sistem pemilihan langsung, popularitas masih menjadi hal yang sangat memengaruhi pilihan.
”Saya mengapresiasi UMM yang dapat memberikan jembatan agar tidak terjadi salah paham dengan mendatangkan pengamat dan perwakilan partai,” tandasnya.
Dia juga bilang Indonesia memiliki masyarakat yang selalu maintaining harmony. ” Ini perlu kita jaga. Kalau kita ingin Indonesia baik-baik saja, maka kita mencari dan memilih pemimpin yang nawaitu-nya benar-benar ingin Indonesia jadi lebih baik,” tegasnya.
Sementara Kacung Marijan mengatakan, seringkali muncul fenomena split ticket voting pada Pemilu. Yakni konsep perilaku pemilih ketika dihadapkan pada pilihan yang beragam dalam suatu pemilihan.
Hal ini biasanya terjadi saat tidak ada titik sambung antara partai dan pilihan presiden. Kemungkinan hal ini kembali terjadi saat pemilu 2024 nanti.
”Misalnya saja saat Pilpres 2019 lalu. Kita bisa melihat bahwa tidak semua anggota PDIP waktu itu memilih Jokowi. Begitupun dengan Prabowo yang tidak semua gen Z memilihnya,” katanya.
Pengamat politik dari UMM Dr Asep Nurjaman MSi menjelaskan, dari hasil survei, ia menilai muncul keinginan dari masyarakat agar kader Muhammadiyah bisa muncul ke permukaan. Salah satu yang sedang hangat adalah Muhadjir Effendy.
”Saya rasa ada kerinduan masyarakat akan calon-calon yang punya upaya pengabdian dan ketulusan pada bangsa. Perasaan inilah yang seharusnya terus ditumbuhkan untuk mencegah munculnya fenomena money politic,” tegasnya.
Asep juga memberikan pandangan lain terkait survei politik. Di negara lain, survei yang berdasarkan sampling sudah ditinggalkan. Beralih pada penggunaan AI serta big data.
Berbagai kelebihan bisa didapat, seperti misalnya pemetaan calon yang lebih akurat karena tidak ada batasan data. Sehingga ia berharap partai politik dan lembaga survei juga bisa segera memanfaatkan teknologi terkait.
Editor Sugeng Purwanto