SAMPAIKAN PERMOHONAN MAAF: Ali Fauzi Manzi menunjukkan ijazah S3 yang dia dapat dari UMM, Selasa lalu (21/2).(Ali Fauzi Manzi For Radar Malang)
Pendidikan menjadi jalan yang diambil Ali Fauzi Manzi untuk membantu mantan-mantan teroris lainnya. Lewat Komunitas Lingkar Perdamaian yang dia bina, Ali ingin menjadi ’dokter’ bagi eks narapidana terorisme di Indonesia.
FAJAR ANDRE SETIAWAN
Air mata Ali Fauzi Manzi seketika jatuh saat memberi sambutan di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa lalu (21/2).
Kesempatan itu menjadi bagian dari pengukuhangelar doktor Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dia dapatkan.
Mewakili 2007 wisudawan lainnya, pria yang akrab disapa Ali itu juga menyampaikan permohonan maaf.
”Di majelis ini saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas tindakan terorisme yang saya dan saudara-saudara saya pernah lakukan,” ucap dia.
Pria asal Lamongan itu mengakui bila menyelesaikan studi doktor bukan urusan mudah. Dia butuh waktu 3,5 tahun untuk menuntaskannya.
Di tengah-tengah proses itu, Ali mengaku sempat ingin mundur di semester keempat. Namun, dia selalu teringat tujuan utamanya dalam memutuskan untuk studi S3.
”Saya ingin menjadi dokter bagi eks napiter (narapidana terorisme),” ucapnya.
Keputusannya mengambil studi doktoral semata-mata untuk membantu lebih banyak eks napiter di Indonesia.
Setelah bergelar doktor PAI, kini dia lebih percaya diri dalam mengolaborasikan berbagai disiplin ilmu.
Misalnya dalam mengetahui perilaku seseorang berdasar pemahaman agamanya. Selain itu juga dalam melakukan pendekatan-pendekatan kepada seseorang.
Ilmu-ilmu itu begitu penting bagi Ali, yang kini aktif sebagai pembicara tentang moderasi beragama dan ancaman terorisme.
Ali juga aktif sebagai pembina di Komunitas Lingkar Perdamaian. Di komunitas itu lah kini dirinya berjihad. (Bersambung ke halaman selanjutnya)
Komunitas tersebut punya anggota 119 mantan teroris dari seluruh wilayah di Indonesia.
Ayah dari enam orang anak itu mengatakan, wadah tersebut dibuat untuk membantu mantan-mantan teroris untuk lepas dari kelompok sebelumnya (teroris).
Dalam menjalankan komunitas tersebut, pria kelahiran 1971 itu memberikan konsep yang sama dengan kelompok terorisme. Hanya saja pemahamannya yang berbeda.
”Kalau di kelompok sebelumnya ajaran-ajaran yang disampaikan itu bersifat kebencian. Baik kepada pemerintah maupun aparat kepolisian,” katanya.
“Namun, dalam komunitas Lingkar Perdamainan, kami kembalikan pemahaman agamanya untuk cinta NKRI, cinta polisi, dan cinta TNI,” terangnya.
Menyandang status sebagai mantan teroris, Ali pernah berada pada di titik terendah. Yakni saat memulai untuk kembali kepada NKRI dan pemahaman agama yang benar.
Kepercayaan masyarakat tak mudah dia dapatkan.
”Diancam dibunuh oleh kelompok sebelumnya. Rumah mau dibakar oleh warga. Dianggap sampah masyarakat. Itu sudah saya alami semua,” kisah dia.
Seiring berjalannya waktu, dia mampu membuktikan bahwa dia benar-benar ikhlas untuk berubah.
Ya, Ali merupakan mantan teroris. Dia pernah menjadi kombatan teroris di Mindanao, Filipina.
Setelah menjalani hukuman di Filipina, dia kembali lagi ke Indonesia. Embel-embel sebagai mantan teroris juga membuat dia mengalami kendala saat melamar pekerjaan.
Ketika ada panggilan untuk wawancara, bisa dipastikan tak ada lagi harapan baginya untuk bekerja di sana. (Bersambung ke halaman selanjutnya)
Sebab, setiap kali ditanya terkait keahlian, dia selalu menjawab merakit bom.
”Saya selalu menjawab jujur seperti itu. Sebab, itu sebagian dari komitmen untuk tidak lagi kembali ke sana,” kata dia sembari tertawa.
Putus asa, Ali sempat kembali ke Lamongan. Di sana, dia menjadi guru di sebuah pondok pesantren (Ponpes) milik keluarga.
Hingga akhirnya lambat laun Ali memutuskan untuk berwirausaha. Kini, bisnisnya di bidang kuliner sudah bisa diandalkan sebagai sumber pemasukan.
Dia memiliki sebuah kafe dan beberapa tempat makan di Lamongan.
Sembari mengurus bisnisnya, dia terus mengamalkan ilmu yang dia dapat selama ini untuk membantu teman-temannya yang senasib.
Target terdekatnya adalah teman-temannya yang kini masih mendekam di balik jeruji besi. Terutama untuk mereka yang mendapat vonis hukuman seumur hidup.
”Bagi saya narapidana terorisme yang sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh harus diberi kesempatan,” kata dia.
Selama membantu napi teroris yang berada di dalam tahanan, dia banyak mengandalkan insting. Sebab, tidak semua napi teroris sudah bersih dari paham radikal.
Lagi-lagi hal itulah yang membuat dia bersemangat menempuh pendidikan tinggi hingga S3.
”Saya otomatis bisa menjadi salah satu penjaminnya ketika membantu menguruskan berbagai permohonan. Seperti remisi dan lain sebagainya,” tutupnya. (*/by)