MALANG KOTA – Hari ini (20/12), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengukuhkan 3 guru besar (gubes).
Ketiganya berasal dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Biologi.
Dekan FKIP UMM Dr Trisakti Handayani MM mengatakan, penambahan gubes menjadi suatu kebanggaan bagi FKIP.
“Ini akan menambah kekuatan bagi Prodi itu sendiri terutama terkait dengan bidang keilmuan,” tuturnya.
Sebagai salah satu bagian dari UMM, FKIP terus mendorong para dosen untuk sesegera mungkin mencapai jabatan fungsional tertinggi tersebut.
Meski dari UMM sendiri sudah memiliki wadah untuk membantu para dosen merealisasikan kenaikan jabatan fungsional tersebut, FKIP sendiri juga memiliki wadah khusus yang diperuntukkan bagi dosen junior hingga senior menuju gelar profesor.
Dia berharap dengan keilmuan para profesor tersebut menjadi berkah bagi UMM.
“Kami berharap mereka nanti semakin berkiprah atau berperan aktif di luar UMM. Sebab citra dari Pendidikan Biologi, FKIP dan UMM bisa semakin baik dan berdiri tegak,” tutupnya.
Prof Dr Ainur Rofieq MKes
Prof Dr Ainur Rofieq MKes dikukuhkan sebagai gubes di bidang ilmu Pendidikan Biologi dan Kesehatan.
Dalam pidato pengukuhannya, dia membacakan penelitiannya yang berjudul “Hidup Berbahagia Bersama Debu: Strategi Pengelolaan Debu Rumah Berkelanjutan Menuju Pencapaian Tujuan SDGs”.
Penelitian tersebut merupakan kumpulan dari karyanya sebelumnya yakni berbagai penelitian mengenai debu sejak 1998.
Prof Rafiq ingat betul.
Saat itu merupakan awal ia menjadi dosen di UMM dan mendapat dana penelitian Rp 250 ribu.
“Saat itu penelitian pertama saya berjudul Perbedaan Berat Debu di dalam Masjid yang Berkarpet dan Tidak Berkarpet di Kota Malang,” tuturnya.
Debu di dalam rumah sering kali diabaikan oleh masyarakat.
Padahal di dalam debu yang kecil tersebut terdapat berbagai komponen seperti alergen, serbuk sari, mikroorganisme, serangga, serpihan kulit, dan juga rambut.
“Debu sebetulnya tidak berbahaya dari segi biotik, namun begitu ada kehidupan tungau di dalamnya menjadi berbahaya, sifatnya menjadi alergenik,” tuturnya.
Kebanyakan debu di dalam rumah, menurut Prof Rofieq mengandung tungau.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penumpukan debu di dalam rumah, yakni mulai dari praktik pembersihan yang tidak tepat, keberadaan karpet dan tirai tebal, hingga sistem sirkulasi udara yang tidak tepat.
Menurut penelitiannya, sebelumnya pada 12 dokter dan tenaga kesehatan, terdapat satu rumah yang keberadaan debu tidak terlalu banyak dan berbahaya dibanding yang lainnya.
Ternyata setelah ditelusuri, pria kelahiran Bojonegoro itu menemukan cara menyapu yang lebih efektif membersihkan debu yakni dengan mengepel dahulu sebelum menyapu lantai rumah.
”Itu lebih efektif dan debu akan lebih bersih,” ungkapnya.
Pengelolaan debu rumah dan tungau debu, menurutnya penting untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Sebab mereka memiliki potensi alergi yang tinggi dan dapat menyebabkan sensitisasi.
“Mencapai SDGs membutuhkan lingkungan yang sehat, dan mengendalikan faktor lingkungan seperti debu dan alergen sangat penting untuk memastikan kualitas hidup yang lebih baik,” tutupnya.
Prof Dr Yuni Pantiwati MM MPd
Sedangkan Prof Dr Yuni Pantiwati MM MPd meneliti mengenai asesmen, literasi dan juga keterampilan berpikir.
Keterampilan berpikir siswa dapat ditingkatkan dengan cara asesmen autentik kognitif, kritis, dan kreatif.
“Kalau ketiganya tinggi maka metakognisi juga akan bagus,” tuturnya.
Kemampuan metakognisi sangat diperlukan siswa untuk dapat mengembangkan pemikirannya.
Sementara itu semua tidak akan terwujud apabila cara menilai guru tidak seimbang.
Saat ini sering kali seorang guru menilai hanya secara kognitif saja dengan ujian tulis.
Untuk itu Prof Yuni menyarankan agar para guru menggunakan asesmen autentik, yakni cara mengumpulkan informasi secara holistik meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor.
Apabila cara asesmen benar, dia mengatakan, maka akan berdampak pada siswa.
“Contohnya apabila dinilai dengan tes tulis saja seorang murid mendapat nilai 40. Padahal apabila dites dengan pertanyaan lisan dia dapat menjawab dengan bagus, kan penilaiannya tidak benar,” tuturnya.
Sehingga, lanjutnya, seorang guru harus memiliki berbagai cara untuk menilai kemampuan siswa.
Salah satunya menurut Prof Yuni ialah dengan self assessment, yakni menilai diri sendiri, lalu juga dengan menilai teman, kemudian guru menilai saya dan teman.
“Itu kan dapat mempersingkat waktu guru untuk menilai,” imbuhnya.
Penilaian autentik, imbuh Prof Yuni merupakan penilaian yang berhubungan dengan desain penilaian yang menghubungkan dengan konteks dunia nyata.
Peserta didik didorong berpikir dan bertindak kreatif dan kritis, terlibat dalam proses eksplorasi, mempertimbangkan dan menyikapi permasalahan secara kritis, serta memecahkan masalah tersebut secara realistis.
“Prinsip asesmen ini sangat tepat digunakan dalam pembelajaran yang menuntut peserta didik tidak sekedar memahami pengetahuan tetapi diharapkan dapat memecahkan masalah kehidupan,” tutupnya.
Prof Dr Abdulkadir Rahardjanto MSi dikukuhkan sebagai gubes ilmu Biologi.
Dalam penelitiannya kali ini dia ingin menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya sungai bagi kehidupan.
“Bukan hanya sungai saja, tetapi di dalamnya banyak sekali ekosistem yang bermanfaat bagi kehidupan,” tuturnya.
Pria yang juga anggota Indonesia Environmental Scientists Association (IESA) itu menyadari bahwa pemahaman masyarakat terhadap lingkungan perlu diaktifkan.
Tidak hanya di sungai, tetapi juga di Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Sampah yang kita buang di sini, di lantai ini akan masuk ke sungai dan mencemari lingkungan tanpa kita sadari,” ungkapnya.
Sebagai contoh adalah organisme keseharian sering kita lihat tapi tidak dipahami sebagai pemberi informasi terhadap lingkungan yakni capung. Itu menjadi indikator baik buruknya kualitas air.
“Kalau pengetahuan tersebut kita berikan kepada masyarakat, mereka menjadi tahu ada yang berubah dari lingkungannya, sehingga bisa melakukan suatu perubahan,” terangnya.
DAS merupakan ekosistem yang terbuka dengan pasokan aliran energi yang berkesinambungan.
Poin utama perhatian DAS adalah ekosistem sungai instream dan offstream dari hulu ke arah hilir.
Sehingga apabila masyarakat DAS memahami kondisi lingkungan yang mereka butuhkan untuk menopang kehidupan, pada akhirnya akan bekerja bersama-sama untuk menjaga lingkungan tersebut bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.
Sayangnya menurut Prof Kadir masyarakat banyak yang merasa memiliki tapi tidak bertanggung jawab atas dasar tersebut.
Ia mencontohkan air mineral dalam botol yang disuguhkan.
Orang tersebut akan merasa sudah diberi dan memilikinya, sehingga meminumnya.
Namun saat akan pulang botol mineral tersebut tetap ditinggalkan tanpa bertanggung jawab untuk membuangnya.
“Perilaku ini tidak boleh diterapkan kepada alam,” tegasnya. (dur/dan)