Remaja Dominasi Pemulihan Trauma

Author : Humas | Sunday, October 16, 2022 12:59 WIB | Radar Malang.ID - Radar Malang.ID

DIBANTU BANYAK KAMPUS: Salah satu saksi tragedi Kanjuruhan memanfaatkan layanan trauma healing di UMM, kemarin (15/10). (SUHARTO/RADAR MALANG)

MALANG KOTA – Meski sudah berlalu dua pekan, trauma masih dirasakan para penyintas (korban) tragedi Kanjuruhan. Ada ratusan korban yang telah menjalani sesi trauma healing. Puluhan di antaranya masih terus menjalani proses pendampingan dari psikolog (selengkapnya baca grafis).

Di Kota Malang, Dinas Kesehatan (Dinkes) dan BPBD mencatat ada 30 warga yang butuh trauma healing. Angka itu didasarkan pada jumlah korban tragedi Kanjuruhan dari Kota Malang. Dari total itu, mereka sudah memberikan layanan penyembuhan psikis kepada 25 orang. “Jadi, kebanyakan keluarga korban meninggal dunia itu takut dan masih cemas,” jelas Kepala Dinkes Kota Malang dr. Husnul Muarif.

Tak hanya dari keluarga yang meninggal dunia, dinkes juga menyasar ke beberapa korban selamat. Terutama mereka yang masih berusia remaja. Husnul mengatakan, beberapa remaja yang masih duduk di bangku sekolah juga masih trauma. Beberapa di antaranya juga masih merasakan sakit di sejumlah bagian badan.

Mantan Kepala Puskesmas Bareng itu juga menyebut tim trauma healing tak hanya datang sekali. Namun bisa datang dua sampai tiga kali. Tergantung kondisi yang disasar. Pelan tapi pasti, beberapa korban sudah mulai kembali pulih dari trauma. ”Jumlah korban yang butuh trauma healing mungkin masih bisa bertambah, karena ada beberapa warga yang sungkan (malu) untuk melapor,” tambah dia.

Meski begitu, pihaknya mengaku bakal door to door atau datang ke rumah-rumah korban melalui data yang terlapor di BPBD. Kemudian untuk proses pemulihan trauma, pihaknya juga berkoordinasi dengan beberapa psikolog yang ditunjuk.

Sementara itu, Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Kota Malang Prayitno menjelaskan bila pihaknya masih terus melakukan pendataan di posko layanan informasi untuk memantau penambahan data korban. Mengingat ada sejumlah warga Kota Malang yang masih dirawat di RS. Jika korban butuh trauma healing, pihaknya bakal sesegera mungkin koordinasi dengan dinkes untuk terjun ke rumah warga. “Kami juga membagi tim, setiap titik ada dua sampai tiga orang yang datang untuk mengawal trauma healing,” beber Prayitno. Sama dengan Husnul, Prayitno masih terus memantau perkembangan data warga Kota Malang yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan.

Di tempat lain, tim gabungan psikososial Kabupaten Malang menyebut ada 119 korban yang sudah mendapatkan penanganan. Para korban berasal dari berbagai kelompok usia. Mulai dari usia di bawah 18 tahun sebanyak 51 orang, usia 18-60 tahun sebanyak 67 orang, dan sisanya berusia di atas 60 tahun.

Ketua Himpunan Mahasiswa Psikologi Indonesia (HIMPSI) Malang Muhammad Salis Yuniardi mengatakan, jumlah tersebut termasuk korban-korban dari dalam dan luar Malang Raya. Korban dari Jember, Magelang, Solo dan Pasuruan juga mendapat penanganan. “Sejak 3 Oktober lalu, kami mulai menerima korban. Sampai dengan tanggal 14 Oktober sudah ada 119 korban yang datang ke kami,” ujar dia.

Kebanyakan korban, menurut Salis, mengalami gejala yang mengarah pada post traumatic stress disorder (PTSD). Gejalanya seperti merasa terhantui akibat tragedi tersebut. Sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari korban. Misalnya jadi sulit tidur atau sulit makan. Selain itu, ada upaya-upaya untuk menghindari hal-hal yang berhubungan dengan tragedi Kanjuruhan.

“Hampir semua korban yang datang seperti itu. Ada yang tiba-tiba menangis sendiri. Misalnya, kemarin seorang sopir ambulans datang ke kami. Padahal dia hanya mengantar korban dan tidak terlibat langsung, tapi di tengah jalan mendadak menangis sendiri,” terang pria yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (FPSi UMM) itu. Meski demikian, para korban belum bisa disebut mengalami gangguan PTSD. Sebab, vonis tersebut bisa diberlakukan ketika seseorang mengalami gangguan minimal dalam kurun waktu enam bulan.

Dalam memberikan pelayanan terhadap korban, pihaknya membuka tiga layanan. Yakni layanan hotline, pembukaan posko, hingga home visit. Ketiga layanan itu dibuka untuk jangka pendek. “Rencananya, pemberian layanan yang bersifat individual akan kami lakukan hingga akhir Oktober nanti. Kemudian, pada 22 Oktober hingga November kami membentuk community building yang mempertemukan penyintas, keluarga, hingga relawan Aremania untuk diberi intervensi,” bebernya.

Selama memberikan layanan, pihaknya berkolaborasi dengan berbagai pihak. Seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, UMM, Universitas Merdeka (Unmer) Malang, dan lembaga-lembaga lainnya.

Di Kabupaten, Mayoritas Peserta Trauma Healing dari Pakisaji

Di Kabupaten Malang, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) drg Arbani Mukti Wibowo menyebut bila korban yang usianya di bawah 17 tahun banyak yang telah mendapat pendampingan psikis.

Ada tiga klasifikasi usia korban yang dilayani pihaknya. Pertama, usia 0 sampai 17 tahun. Jumlahnya 34 untuk laki-laki dan 17 untuk perempuan. Selanjutnya kelompok usia 18 sampai 60 tahun. Jumlahnya mencapai 38 pria dan 29 wanita. Sedangkan, kategori 60 tahun ke atas atau lansia, baru ada satu perempuan yang mendapat layanan trauma healing.

Sebagian besar merasakan gejala gangguan psikologis. Seperti ketakutan, cemas, menangis dan terus teringat tragedi Kanjuruhan. “Di Kabupaten Malang, paling banyak yang minta bantuan kami warga Pakisaji. Jumlahnya 22 orang. Tetapi, ada juga yang dari Lowokwaru, Kota Malang, dan bahkan luar Malang Raya juga,” kata Arbani.

Pendampingan psikologis juga menyasar keluarga korban. Sejak awal Pemkab Malang memang menggandeng HIMPSI Malang untuk memberikan layanan itu. Tetapi, DP3A juga siap bekerja sama dengan lembaga lain untuk membantu korban. “Kami juga mempersiapkan program lain. Yaitu sesi pendampingan psikologis komunal. Untuk itu, kami sedang koordinasi dengan desa dan kecamatan. Nanti, warga desa yang trauma akibat insiden Kanjuruhan akan dikumpulkan. Di situ, akan kami beri sesi bersama psikolog,” tambah ASN yang juga jadi bagian dari Satgas Trauma Healing Kabupaten Malang itu.

Media Officer Arema FC Sudarmaji memastikan bila pihaknya akan mendukung program pendampingan psikologis secara komunal itu. Dia menyebut tidak hanya suporter yang butuh pemulihan psikis. Pemain Arema FC pun juga sama. Sebab mereka masih merasakan trauma terhadap tragedi itu.

Karena itu, pihaknya meminta Pemkab Malang untuk menyisipkan pemain dalam tahap pemulihan psikologis komunal itu. “Suporter dan pemain sama-sama perlu pendampingan psikologis. Dengan mempertemukan Aremania dan pemain Arema, ada upaya saling menyembuhkan di situ. Pemain kami juga butuh,” kata Sudarmaji.

Sementara itu, layanan trauma healing di kampus-kampus juga terus berjalan. Seperti tersaji di Unmer Malang. “Bentuk layanan di kami secara online, tatap muka dan home visit, tergantung bagaimana kebutuhan penyintasnya,” terang Dekan Fakultas Psikologi Unmer Malang Nawang Warsi Wulandari SPsi MSi kemarin (15/10).

Komando layanan di sana dipegang DP3A Kabupaten Malang.

Di Unmer, dalam sepekan terakhir ada dua orang yang mendaftar layanan trauma healing secara online. Serta ada satu orang yang datang ke kampus. “Beberapa waktu lalu ada satu permintaan home visit, tetapi tidak jadi karena klien sakit dan masuk ke rumah sakit,” tambah Nawang.

Ada juga UMM yang membuka posko penanganan trauma di kampusnya. “Selama satu pekan terakhir ini kami menangani setidaknya 10 klien yang datang langsung ke kami. Berasal dari berbagai kalangan,” kata Koordinator Relawan Psikososial Fakultas Psikologi UMM Thifal Augista Ristyanda kemarin (15/10).

Dari jumlah tersebut, dia menyebut ada juga yang merupakan mahasiswa UMM. Sebab yang bersangkutan ikut menyaksikan pertandingan Arema FC melawan Persebaya, 1 Oktober lalu. di Stadion Kanjuruhan. Tidak hanya memberikan pelayanan bagi yang datang saja, Thifal juga menyebut bila pihaknya turut melakukan home visit. Jumlah yang telah dilayani ada 20 orang.

Dari hasil observasi selama ini, ada tiga tahap trauma yang dialami korban. Mulai dari ringan, sedang dan berat. “Untuk keluhan yang paling umum itu ada yang sampai gemetar, terbayang-bayang (tragedi Kanjuruhan) dan terdengar suara ramai seperti di stadion. Kemudian tidur yang tidak nyenyak. Sampai ada yang takut melihat kerumunan,” papar Thifal.

Di tempatnya, korban yang datang umumnya mengalami trauma ringan dan sedang saja. Baru pada layanan home visit, pihaknya menemukan orangorang yang mengalami trauma cukup berat. Umumnya itu dialami keluarga korban. Karena itu, mereka umumnya tidak berkenan bila layanan trauma healing dilakukan di luar rumah. “Mereka butuh didengarkan, kami hanya boleh memberikan tips kalau gejala kambuh lagi seperti apa,” imbuhnya. (adn/ mel/fin/biy/by)

Harvested from: https://radarmalang.jawapos.com/malang-raya/kota-malang/16/10/2022/remaja-dominasi-pemulihan-trauma/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: