REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kedelai diketahui sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu di Indonesia. Namun harga kedelai impor yang mencapai Rp 13.200 telah menciptakan dampak signifikan terutama pada biaya produksi tempe dan tahu.
Merujuk kondisi tersebut, dosen Prodi Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Anas Tain menjelaskan, persoalan ini bukan isu baru di Indonesia. Sebab, setiap tahun harga kedelai impor mengalami kenaikan.
Pada 2023 ini misalnya, kata dia, larangan impor dan maraknya boikot produk impor menciptakan disrupsi dalam keseimbangan pasokan dan permintaan. "Ketika permintaan tetap stabil dan penawaran berkurang, supply pun ikut menyusut," ujarnya.
Dalam upaya untuk menutupi kenaikan biaya produksi, sejumlah produsen kerap melakukan perubahan di produknya. Beberapa langkah yang umumnya diambil adalah penyesuaian harga jual produk, pengurangan jumlah produksi, peningkatan harga, atau bahkan memperkecil ukuran produk.
Namun demikian, Anas menegaskan, setiap tindakan ini harus selaras dengan karakteristik segmen pembeli. Tanpa terkecuali dengan memahami konsep elastisitas masyarakat terhadap kenaikan harga komoditas.
Menurut dia, terdapat konsumen yang sifatnya inelastis. Artinya, konsumen tidak terpengaruh dengan perubahan harga. Sementara itu, konsumen yang responsif terhadap perubahan harga dapat mengakibatkan penurunan daya beli, mendorong produsen untuk mengurangi produksi dan memperkecil ukuran produk.
Ia tidak menampik, menghadapi kenaikan harga kedelai impor adalah tantangan yang tidak mudah. Namun hal itu dapat diatasi dengan kreativitas dan komitmen. Diversifikasi bahan baku dapat menjadi kunci utama untuk mengatasi kenaikan harga tersebut.
“Sebagai contoh, uji coba membuat tempe dan tahu menggunakan bahan dasar kacang tunggak dapat menjadi langkah konkret dalam menyiasati lonjakan harga kedelai impor. "Hanya saja, langkah ini masih belum diadopsi oleh industri,” kata dia.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya swasembada kedelai lokal agar tak menjadi kebijakan semata. Jika dapat memenuhi permintaan pasar, penggunaan kedelai lokal banyak membawa manfaat.
Tidak hanya menghasilkan tempe yang lebih lezat, tetapi juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meminimalisasi dampak fluktuasi harga kedelai impor.
Di sisi lain, dia tidak menampik produsen cenderung lebih memilih kedelai impor karena kepraktisan dan ukuran yang lebih besar. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi antara produsen, konsumen, dan pemerintah dalam mencari solusi untuk menghadapi kenaikan harga kedelai impor.
Menurut dia, dukungan penuh dibutuhkan untuk menciptakan keberlanjutan dalam industri tempe dan tahu di Indonesia. Inovasi, adaptasi, dan kesadaran bersama menjadi kunci utama dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan industri Tanah Air.