Mahasiswa Bukan Bonsai

Author : Humas | Monday, March 14, 2016 08:04 WIB | Republika - Republika
Red: M Akbar
 
istimewa
Dian Rosmala
Dian Rosmala
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Rosmala
(Direktur Eksekutif Mazhab Djaeng Indonesia, Alumnus FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)

Bonsai adalah nama lain dari tanaman yang sengaja ditanam di suatu wadah yang bisa menghambat/mencegah pertumbuhannya. Tanaman yang dibonsaikan tetap hidup, tapi tidak tumbuh dan tidak berkembang. Begitu juga dengan kekuatan akarnya untuk menopang pohon, tidak seberapa kuat, karena pertumbuhan akar dibatasi oleh wadah yang kecil.

Praktik bonsai juga sering diberlakukan kepada manusia. Meski tak secara fisik, praktik semacam itu kerap ditemukan pada ranah mental dan kemampuan intelektual. Pada ranah mental, misalnya, sering kita mendapati anak di bawah umur, baik laki-laki maupun perempuan, dipaksa atau dibiarkan menikah meskipun secara mental belum siap untuk membina rumah tangga. 
Akibatnya, pernikahan yang seharusnya menjadi ikatan sakral dan penuh tanggung jawab, kandas di tengah jalan. Tak sedikit yang berujung pada perceraian. Banyak sekali kejadian dengan kasus yang hampir sama di mana pemaksaan mental diberlakukan kepada manusia.

Praktik Bonsai di Perguruan Tinggi

Sementara itu, praktik bonsai pada ranah kemampuan intelektual juga terjadi di beberapa tempat, salah satunya di dunia perguruan tinggi (PT). Hampir di semua kampus di Indonesia, mahasiswa dituntut untuk lulus cepat, minimal tiga tahun dan maksimal empat tahun.  

Kampus tidak mau tahu, apakah kemampuan intelektual mahasiswanya sudah mumpuni atau belum, sudah siap dilepas ke tengah masyarakat atau belum, sudah cukup bekal untuk membangun bangsa dan negaranya atau belum, sekali lagi kampus tidak mau tahu soal itu. Sehingga yang terjadi, banyak sarjana yang hanya bermodalkan ijazah dan transkip nilai semata, menjadi pengangguran. Pascalulus, mereka bingung mau ke mana dan berbuat apa.

Temuan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang status sarjana pengangguran semakin naik dari tahun ke tahun. Pada 2013, jumlah sarjana pengangguran sebesar 434.185 orang, sementara pada 2014 naik menjadi 495. 143 orang dan semakin naik pada 2015, yaitu sebanyak 600.000 orang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja, karena banyak faktor yang melatarbelakanginya.

Selain karena faktor ketersediaan lapangan kerja yang minim dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, para sarjana ini juga minim kompetensi, dalam bahasa kasarnya stupid graduates. Karena, waktu yang dimiliki selama berproses sebagai mahasiswa di perguruan tinggi terlalu singkat. Tuntutan kampus untuk segera lulus, maksimal empat tahun, membuat para mahasiswa tidak memiliki cukup waktu untuk meningkatkan kompetensinya, terutama pada wilayah soft skill.
Harvested from: http://www.republika.co.id/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: