Melacak Akar Wabah Antraks di Gunungkidul

Author : Humas | Friday, July 07, 2023 00:24 WIB | Republika - Republika

Aktivitas warga di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). | Republika/Wihdan Hidayat

Kematian akibat Antraks di Gunungkidul memecah rekor 31 tahun.

Lokasi Pedukuhan Jati, di Semanu, Gunungkidul, tak dekat dari pusat provinsi di Yogyakarta. Butuh dua jam lebih perjalanan darat menuju daerah perbukitan tersebut. Sekitar 62 kilometer ke arah timur Kota Yogyakarta, pinggir jalan mulai diisi hutan-hutan jati.

Penampakan Kapel Santo Petrus Kanisius menandai pelancong bahwa mereka telah sampai di wilayah Dukuh Jati tersebut. Seperti awamnya pedukuhan di pedalaman Yogyakarta, kondisinya tak begitu ramai. Ada 83 kepala keluarga di daerah itu, tak jauh beda angkanya dengan populasi ternak yang jumlahnya sebanyak 76 ekor sapi.

Pedukuhan Jati jadi sorotan belakangan karena penyakit antraks yang mewabah di sana. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta menyatakan, sebanyak 87 terjangkit penyakit yang ditularkan ternak sapi itu. Dari jumlah itu, satu meninggal. 

photo

Guru Besar Bidang Kesehatan Ternak dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Profesor Lili Zalizar menjelaskan, antraks merupakan penyakit yang dapat menular ke manusia (zoonosis) dan disebabkan adanya bakteri Bacillus anthracis. Penyakit ini dapat menular melalui spora antraks yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. 

"Bisa juga melalui daging yang mengandung spora dan tidak dimasak dengan suhu tinggi," kata Lili saat dihubungi Republika, Kamis (6/7/2023).

Spora antraks juga dapat masuk melalui luka yang ada di kulit atau selaput lendir. Salah satunya dapat terjadi pada kasus penyembelihan hewan penderita antraks.

Menurut Lili, spora antraks yang masuk lewat pernapasan bisa menyebabkan sesak napas dan kematian. Jika ini masuk ke saluran pencernaan maka dapat menyebabkan diare berdarah. "Jika tidak segera diobati bisa menyebabkan kematian," kata dia.

photo

Saat Republika menyambangi Pedukuhan Jati pada Rabu (6/7/2023), kondisinya tampak normal. “Kondisi di sini masih biasa saja, masih seperti kemarin-kemarin, kayak ndak ada apa-apa,” ujar Yulius Sugeng Ari Susanto (38 tahun), kepala Dukuh Jati, Semanu, Gunungkidul saat ditemui Republika.

Ia bahkan mengaku tak mengetahui persis siapa-siapa saja yang terdata menderita penyakit tersebut. “Kurang tahu juga saya, ya, karena datanya saya ndak dikasih dari dinas. Jadi saya ndak bisa menyebutkan berapa,” ujarnya. 

“Saya baca jumlahnya di berita tapi saya ndak tahu siapa-siapanya (yang terjangkit),” ia melanjutkan.

Saat ini, menurut dia, tinggal satu warga Jati yang masih diopname di rumah sakit di Wonosari karena terjangkit antraks.

Terkait tradisi di desa itu yang disebut jadi salah satu penyebab penyebaran antraks, Yulius mengatakan hal itu sudah menahun dilakukan. “Kalau khususnya di dusun kami, tradisi mbrandu itu sudah dilakukan simbah-simbah kami sampai sekarang. Mbrandu itu kalau ada warga yang sapinya mati, itu warga gotong royong membantu, biar kerugiannya nggak terlalu banyak. Intinya itu,” kata dia.

Ia mengatakan, warga di dukuh itu masih awam soal antraks. Sebagian juga sudah mengetahui ada bahaya dalam pelaksanaan tradisi tersebut. “Tapi ini kan sudah tradisi dari zaman dahulu nggak dari kapan, dari zaman simbah-simbah,” kata dia. 

Sejauh ini, warga hanya mengantisipasi penyebaran antraks dengan melakukan penyiraman dengan campuran formalin. “Cuman bisa ini, nyiram-nyriam thok. Itu saran dari Dinas Kesehatan Peternakan, terutama yang lokasinya sering jadi penyembelihan itu harus sesering mungkin disiram pakai formalin,” ujarnya.

Jika persediaan formalin habis, pengurus dukuh langsung meminta pasokan ke dinas terkait. Ia mengeklaim bahwa saat ini tak ada sapi di daerah itu yang tampak bergejala antraks. 

photo

Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Pembayun Setyaningastutie mengatakan, faktor kesadaran masyarakat yang kurang menjadi salah satu kendala menyebarnya penyakit antraks. Ia menjelaskan bahwa warga yang memiliki gejala dan semua yang terindikasi harus melapor kepada tenaga kesehatan.

"Sepanjang keterbukaan informasi dari pasien dibutuhkan. Jadi memang ada juga yang tidak bercerita setelah selesai masa inkubasi sudah kelihatan pusing dan mual," ujar Pembayun kepada Republika, Kamis (6/7/23).

Ia memaparkan, pertama ditemukan kasus antraks di Dusun Jati pada Juni lalu saat ada warga yang dibawa ke RS Panti Rahayu dan ditemukan positif antraks. Kemudian, tim dari Dinkes DIY dan Gunungkidul ke lapangan untuk penelitian etimologi.

photo

Di sana ditemukan berbagai faktor yang menjadi penyebab menyebarnya penyakit ini, yakni tradisi mbrandu yang sudah mengakar kuat. Mereka terbiasa memakan daging ternak yang mati karena sakit. 

Menurut Pembayun, sebaiknya memang pada masa inkubasi atau setelah berkontak dengan ternak segera melapor ke petugas kesehatan. Nantinya mereka akan diberikan antibiotik yang harus diminum dalam masa inkubasi.

Pemberian antibiotik dalam masa inkubasi ini penting untuk mencegah berbagai gejala yang muncul seperti pusing dan mual. Gejala terparah adalah munculnya lesi dan koreng di kulit.

photo

"Makanya penting untuk segera diberi pengobatan, tapi banyak juga yang tidak melapor. Masalah perilaku ini tidak bisa diselesaikan oleh Dinas Kesehatan maupun Pertanian," imbuh Pembayun.

Langkah selanjutnya, Dinkes DIY akan berkoordinasi dengan seluruh Dinas Kesehatan kabupaten/kota se-provinsi, serta Wonogiri dan Boyolali guna mengantisipasi penyebaran penyakit ini. "Kami masih berkoordinasi dengan Kemenkes, apakah surat edaran ini akan diturunkan dari Kemenkes atau kami. Seperti ini kan juga ada faktor politik dan ekonominya yang harus dipertimbangkan," katanya.

Kronologi

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi mengatakan, kronologi penyebaran wabah antraks di Dusun Jati bisa ditarik pada 18 Mei 2023 lalu. Menurut dia, pada saat itu ada kematian sapi yang kemudian disembelih dan dibagikan dagingnya kepada warga untuk dikonsumsi. “Jadi ini yang menjadi salah satu penyebab penyebarannya,” kata Imran dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (6/7/2023). 

Dua hari berselang, kambing milik warga, KR, juga mati dan disembelih lagi oleh warga untuk dibagikan dagingnya. Di lain posisi, ada sapi milik warga lainnya, SY, yang mati dan dipotong dan juga dibagikan kepada warga. “Di mana, yang meninggal saat ini, bapak WP, membantu menyembelih sapi bapak SY,” tutur dia. 

WP, kata Imran, didahului masuk ke rumah sakit dengan keluhan gatal dan bengkak serta luka. Saat diperiksa dan diteliti sampelnya, almarhum positif spora antraks dari tanah tempat penyembelihan sapi tadi. 

“Tanggal 3 Juni (warga) yang sakit dirujuk ke RS Sarjito, dilakukan pengambilan sampel darah, didiagnosis bahwa dia suspek antraks. Tanggal 4 Juni WP meninggal,” kata dia. 

Imran menjelaskan, tren antraks sejak lima tahun terakhir di Yogyakarta yang memang hampir selalu ada. Meski demikian, baru saat ini ada kematian. Mayoritas tipe penularan bakteri antraks, kata Imran, kebanyakan menyerang kulit.

Dari lima tahun terakhir, lanjut dia, tertinggi kasus tersebut pada 2019 dengan 31 kasus tanpa kematian. Aral melintang, baru tahun ini di DIY ada tiga kematian.

“Satu dinyatakan suspek karena sudah ada hasil pemeriksaan lab. Yang dua ini belum sempat dilakukan pemeriksaan lab karena langsung meninggal,” katanya. 

Merespon hal itu, Kemenkes dia klaim melakukan investigasi gejala dan riwayat dengan ternak yang mati karena antraks. Lebih jauh, pihaknya juga sedang melakukan sero survei atas populasi berisiko di daerah tempat penyembelihan.

“Kita sekarang sudah mengimbau, kita keluarkan SE untuk kewaspadaan bagi semua fasilitas kesehatan di Yogyakarta, bukan hanya di Gunungkidul tapi di kabupaten yang lain-lain mengingat spora bisa terbang ke mana-mana,” jelasnya.

Harvested from: republika.id/posts/42834/melacak-akar-wabah-antraks-di-gunungkidul
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: