REPUBLIKA.CO.ID, Dawam Rahardjo, lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 April 1942, adalah seorang pengamat sosial ekonom Indonesia terkemuka. Ia mendapatkan gelar S-1 dari Fakultas Ekonomi UGM (1969). Dia sangat lama berkecimpung dalam dunia penelitian dan secara terus-menerus mengamati perkembangan masyarakat Indonesia.
Berbagai lembaga penelitian bergengsi, seperti LP3ES, lahir berkat tangan dinginnya. Gelar Guru Besar dalam bidang ekonomi diperolehnya dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 1993. Kini, dia menjabat sebagai ketua dewan direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Berikut wawancaranya dengan wartawan senior Republika, Muhammad Subarkah:
Sekarang ada gerakan yang tampak sekali kasat mata untuk men-delete (menghapus) Islam politik. Terkait dengan itu, maka menurut Anda sebenarnya asal usul dari munculnya kebencian terhadap Islam politik itu dari mana?
Sebetulnya sumber atau munculnya kebencian terhadap Islam politik itu berasal dari negara-negara Barat. Ini karena umat Islam itu lama sekali berjuang melawan imperialisme barat. Tapi, perjuangan itu selalu kalah karena persenjataan yang dimiliki oleh umat Islam ketika melawan mereka itu lemah. Akibatnya, perlawanan umat Islam pun selalu kalah.
Imbas kekalahan ini pun meluas tak hanya dalam bidang militer, yakni merambah bidang politik, sosial, dan ekonomi. Sehingga, karena itu maka negara-negara Muslim pun kemudian hidup dijajah oleh negara-negara Barat dalam jangka waktu yang lama. Umat Islam pun tak bisa bergerak.
Dan, sebagai satu-satunya reaksi yang masih dapat dilakukan untuk keluar dari kenyataan tersebut, maka umat Islam pun bangkit melakukan perlawanan dengan cara 'gerilya'. Ini adalah pilihannya. Maka, dalam hal ini terorisme yang kerap dilabelkan kepada kaum Muslim oleh media negara-negara Barat itu pada hakikatnya jelas dapat disebut juga sebagai 'gerilya politik'. Atau bisa juga disebut sebagai sebuah gerakan kekerasan. Jadi, gerakan ini muncul karena memang mereka tidak punya kesempatan untuk tampil ke permukaan.
Hal seperti inilah yang kini terjadi di Jazirah Arab. Di sana Ikhwanul Muslimin selalu ditekan. Bayangkan meski memang dalam pemilihan presiden yang demokratis dan jujur, kemenangan mereka dibatalkan. Hal yang sama juga terjadi di Aljazair. FIS meski menang pemilu, tetapi kemenangannya pun dibatalkan atau tak diakui.
Nah, kalau sudah begitu, maka jelas mereka (negara-negara Barat) menjadi tak demokratis. Maka, umat Islam yang mereka zalimi melakukan perlawanan dengan cara kekerasan karena sudah tak ada pilihan lain. Jadi, kalau sekarang ini ada pihak-pihak tertentu, entah itu pihak pemerintah atau nonpemerintah, atau pula itu kekuatan Barat yang mau menghilangkan Islam politik itu, maka yang nanti akan timbul justru gerakan-geralan radikal yang mereka sebut itu sebagai aksi terorisme.
Untuk kasus Indonesia, gerakan menghapus Islam politik itu menurut Anda muncul mulai kapan?
Ya, sumber pertamanya memang dari sikap negara-negara Barat tersebut. Sumber lainnya adalah muncul dari gerakan komunis. Ini karena propaganda komunis tak pernah bisa mempan di lingkungan umat Islam. Bahkan, propganda komunis oleh umat Islam selalu ditentang habis-habisan. Untuk itulah, kaum keduanya ini berusaha getol sekali menghilangkan Islam politik tersebut.
Padahal, perlu dipahami keberadaan Islam politik itu seharusnya dipahami sebagai sebuah hal yang positif. Ini karena Islam politik itu pasti demokrasi sebab Islam politik itu pasti dilakukan melaui perjuangan partai. Nah, kalau diperjuangkan oleh partai, maka itu jelas sebagai hal yang terbuka karena sebuah partai pasti ada izin dan aturan-aturannya. Dengan begitu, pasti mengikuti prasyarat demokrasi, seperti mengikuti pemilihan umum, mengikuti diskusi di publik, dan melakukan komunikasi dengan seluruh pihak. Jadi, Islam politik kan terbuka dan damai.
Setelah tahu seperti itu, menjadi pertanyaan saya kenapa Islam politik kok mau direpresi dan mau dihilangkan. Dan kalau ini benar-benar mau dihilangan, maka yang akan terjadi justru radikalisme.