Azyumardi Azra
|
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Mengikuti International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pekan lalu, 29 November--2 Desember, banyak agenda bagi Muhammadiyah dalam melangkah ke abad kedua eksistensinya (18 November 1912--18 November 2012).
IRCM yang menghadirkan 56 penyaji makalah dari dalam dan luar negeri memang membahas secara kritis berbagai aspek organisasi Muhammadiyah. Agaknya inilah konferensi riset terbesar yang diabdikan untuk membahas satu ormas semacam Muhammadiyah.
Bahwa Muhammadiyah merupakan salah dari dua organisasi terbesar negeri ini setelah NU tidak perlu dipersoalkan lagi. Begitu juga dengan kenyataan Muhammadiyah merupakan ormas pendidikan dan dakwah terbesar di Dunia Muslim. Dan, tentu saja, Muhammadiyah telah memberikan banyak kontribusi kepada negeri ini dalam peningkatan kualitas warga bangsa, bahkan jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan.
Tetapi, banyak agenda bagi Muhammadiyah dalam milenium kedua, tidak hanya untuk bertahan dalam zaman yang terus berubah secara cepat. Tetapi, lebih-lebih lagi untuk meningkatkan peran dan kontribusinya bagi Indonesia dan, lebih jauh lagi, bagi masyarakat internasional.
Muhammadiyah dengan segala pencapaiannya sepanjang satu abad silam berada dalam posisi yang tepat dan pantas untuk meningkatkan kontribusinya kepada warga negara-bangsa Indonesia dan dunia global.
Agenda pokok ke depan bagi Muhammadiyah adalah penegasan kembali identitas atau dalam tema besar riset konferensi adalah “(me)wacana(kan) pencarian identitas yang terbarukan bagi Muhammadiyah untuk era pascasatu milenium." Identitas yang menjadi raison d’etre Muhammadiyah sepanjang abad silam tak lain adalah tajdid, pembaruan—tegasnya pemurnian—Islam dari apa yang disebut Muhammadiyah sebagai ‘TBC’ (takhyul, bid’ah, churafat).
Tetapi juga jelas, dalam perjalanan waktu, khususnya tiga dasawarsa terakhir, agenda-agenda tajdid Muhammadiyah kehilangan elan-nya karena perubahan sosial, budaya, politik, dan agama yang kian cepat. Dan juga, karena Muhammadiyah juga kian "gemuk" sehingga menjadi lamban.
Di tengah perkembangan itu, konvergensi keagamaan terus terjadi di antara Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lain—sehingga hampir tidak ada lagi keributan furu’iyah. Tapi, kini ideologi puritanisme Muhammadiyah ditantang paham dan praksis keagamaan ultrapuritan yang pada dasarnya bersifat transnasional.
Tantangan kaum ultrapuritan bukan hanya menyedot kalangan warga Muhammadiyah—walaupun masih dalam skala sangat terbatas, tetapi juga lembaga-lembaganya sejak dari masjid, sekolah sampai universitas. Bahkan, bukan tidak mungkin infiltrasi kelompok ultrapuritan juga sudah merambah ke lembaga Muhammadiyah lain seperti rumah sakit, klinik, dan rumah yatim piatu.
Karena sangat urgen, bagi pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sejak tingkat nasional ke tingkat lokal memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan lembaga-lembaganya. Infiltrasi kaum ultrapuritan ke dalam Muhammadiyah secara potensial lebih besar daripada ke dalam ormas Islam lain semacam NU.
Hal ini tidak lain adalah karena terdapat banyak afinitas ideologis antara Muhammadiyah yang juga pernah puritan dengan kelompok-kelompok ultrapuritan yang berkecambah khususnya sejak masa pasca-Soeharto. Bagaimanapun, infiltrasi kelompok ultrapuritan dapat membawa potensi friksi di antara pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri.
Lebih jauh lagi, gejala ini dapat menimbulkan dampak tertentu bagi Muhammadiyah yang bersama NU dan ormas Islam lain dalam memelihara tradisi Islam washatiyah Indonesia. Jika Islam washatiyah negeri ini mengalami gangguan, bisa diduga juga bakal memengaruhi arsitektur politik negara-bangsa Indonesia ke depan.
Dalam kaitan itu, pimpinan Muhammadiyah dituntut mempertimbangkan kembali format lebih produktif dalam hubungan dengan rejim yang berkuasa. Memang tidak ada masalah lagi dalam hal format hubungan Muhammadiyah dengan negara; bahwa Muhammadiyah menerima dan mendukung NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Masalahnya kemudian adalah hubungan antara pimpinan pusat Muhammadiyah dengan rezim berkuasa tidak selalu mulus, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada lembaga-lembaga Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sebagai ormas independen, vis-a-vis kekuasaan adalah wajar belaka jika kalangan pimpinan Muhammadiyah bersikap kritis terhadap rezim penguasa. Sikap kritis itu juga adalah bagian dari pengejawantahan Muhammadiyah sebagai Islamic-based Civil Society. Tetapi ke depan, pimpinan Muhammadiyah seyogianya dapat menemukan format baru dalam relasi dengan rezim penguasa tanpa harus kehilangan jati dirinya.